Selasa, 22 Juli 2014

DARUMA


“Mik, nanti siang jangan lupa ya!” Rana, gadis manis yang selalu menguncir kuda rambut sebahunya itu tersenyum mengingatkan janji mereka ke arah seorang lelaki yang juga membalas senyumnya. Memberi isyarat bahwa ia akan mengingat janji yang telah mereka buat.

Ya. Siang nanti seperti biasa Rana dan Mika akan bertualang menjajaki berbagai macam rasa es durian yang menjadi makanan favorit mereka berdua. Mika dan Rana adalah sahabat karib. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mulai dari berkeliling tempat-tempat untuk menghabiskan waktu bersama, berkeliling ke tempat-tempat unik, mencicipi kuliner unik sampai menikmati berbagai tipikal berbeda setiap tempat yang menjual es durian. Tak jauh memang, hanya kota Bandung dan sekitarnya.

Ketika waktu pulang sekolah tiba, keduanya sudah siap sedia. Di tengah teriknya matahari kota Bandung di awal Januari, mereka membelah jalanan kota Bandung dengan sepeda motor milik Mika.

“Mik, sekarang kita mau ke kedai es durian yang mana?” Seperti biasa, sikap supel Rana selalu bisa memecah keheningan dengan membuka topik pembicaraan.

“Terserah kamu deh, aku kan supir. Aku menurut saja.” Mika memang selalu begitu. Menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Rana. Dia beranggapan bahwa Rana lebih mengetahuinya dibanding dirinya.

“Kemana ya? Ke kedai depan kompleks rumah kita ya Pak Mika?” Tawar Rana sembari mengeluarkan lelucon ringannya.

“Baik Bu. Segera meluncur. Pastikan sudah memakai sabuk pengaman.” Mika membalas lelucon Rana. Mereka berdua hanya tertawa ringan dan segera melanjutkan perjalanan.

Sepanjang perjalanan Rana bercerita berbagai macam hal. Tak terkecuali tentang Zafran, kakak kelas yang ia sukai sekitar setahun yang lalu. Menurutnya kakak kelas yang berbeda satu tingkat diatasnya itu sangat tampan. Belum lagi dia adalah ketua ekstrakulikuler basket di sekolahnya. Ditambah lagi namanya tak pernah ketingglan dan selalu hadir dalam setiap perlombaan, baik akademik mau pun non akademik. Seantero sekolah pun tahu kalau seorang Zafran adalah masternya Fisika.

“Ran, kalau kamu menyukai seseorang setidaknya sedikit tahu diri tak ada salahnya bukan?” Mika menanggapi cerita Rana tentang sosok Zafran yang entah sudah keberapa kalinya.

“Maksud kamu Kak Zafran terlalu tinggi untuk kuraih?”

“Eh… maksudnya, ya sudah itu terserah kamu saja.” Akhirnya Mika mengalalah dan mencabut perkataannya.

“Tapi perkataanmu ada benarnya juga Mik.”

“Ya sudah lupakan! Sekarang sudah sampai.”

Mika memarkir motornya di halaman kedai es durian yang menjadi salah satu kedai favorit mereka. Selain karena jaraknya yang lumayan dekat dari rumah mereka, juga karena rasanya tak kalah dengan es durian di resto terkenal lain. Harganya pun pas dengan kantung pelajar seperti mereka.

Mereka memilih tempat di sudut kedai agar bisa bercerita banyak hal dengan leluasa. Juga agar sesekali mereka bisa memandang jalanan di samping tempat duduk mereka yang tepat berada di persimpangan jalan. Kedai itu tak terlalu mewah juga tidak terlalu kumuh. Sederhana dan apa adanya. Di setiap meja terdapat empat tempat duduk dengan warna yang senada, coklat teduh. Dan satu vas buga berisi bunga yang berbeda di setiap mejanya.

“Mik, bisakah sekarang kamu yang bercerita?” Pinta Rana setelah keduanya mendapatkan es durian pesanan mereka.

“Apa yang harus di ceritakan Ran? Hidupku sama seperti remaja lainnya. Rutinitas yang sama dan kisah yang tak menarik.”

“Tidak mungkin. Pasti ada setidak satu kisah unik yang kau alami. Misalnya tenang kau menykai seorang gadis mungkin…”

“Uhuk!!”  Mika tersedak mendengar perkataan Rana.

“Kenapa Mik?” Rana dengan segera menepuk-nepuk kecil punggung Mika.

“Kenapa tiba-tiba tersedak sih? Ah… Benar kan perkataanku?” Rana mulai menerka perasaan sahabatnya ini. Sedikit merasa keheranannya selama ini terjawab. Pasalnya sejak kepindahan Mika dari Jakarta setahun yang lalu, Mika tak pernah bercerita tentang ia yang menyukai seseorang atau apa pun mengenai hal itu.

“Anda sangat pandai menebak hati seseorang ya ternyata. Hahaha. Sudah-sudah!” Mika menginterupsi Rana agar menghentikan kegiatannya menepuk bahu Mika.

“Kamu masih normal kan Mik?”

“Normal atuh Ran!!” Mika membantah pertanyaan Rana yang sedikit menggelitik itu. Kemudian keduanya kembali menikmati sendok demi sendok es durian yang mulai mencair itu.

“Ini buatmu.” Tiba-tiba Mika memberikan sesuatu dari dalam tasnya.




“Ya ampun lucunyaa…. Ini apa Mika?” Puji Rana pada benda berbentuk nyaris bulat tersebut. Benda itu berwara biru dan terlihat seperti boneka. Sedangkan besarnya hanya seukuran genggaman tangan. Kecil dan mungil.

“Boneka ini bernama Daruma. Kebetulan ketika liburan tahun baru kemarin berbarengan pameran Jepang di Jakarta. Aku melihat ini dan aku membelinya untukmu.”

“Baiknya Mika…” Rana tersenyum mengucapkan terimakasih.

“Kau tahu? Bentuk Daruma yang hampir bulat itu mempunyai arti. Melalu bentuk tubuhnya, Daruma seakan menyampaikan pesan bahwa ketika kita terjerembab, kita harus cepat bangkit. Semangat itu yang ingin disampaikan boneka Daruma ini. Lihatlah!” Mika menutup penjelasannya dengan mengambil Daruma milik Rana dan mempraktikan perkataannya.

“Hwaaa Sugoii…(Hebat)” Rana menatap takjub.

“Rupanya sekarang  ada yang sudah bisa berbahasa Jepang nih.”Mika berkata sembari menatap Rana yang tersenyum bangga lalu meletakan kembali boneka Daruma tersebut.

Mika-san arigatou gozaimazu ne.(Mika, terimakasih banyak)”

“Ya sama-sama. Aku juga ada satu.” Mika memamerkan Daruma berwarna merah miliknya.

“Kenapa hanya satu mata Daruma yang dilukis Mik?” Tunjuk Rana pada Daruma milik Mika.

“Kenapa pula harus repot kita yang melukis? Kenapa tak membeli yang sudah bermata lengkap? Eh… Punyaku malah tak ada dua-duanya.” Rana sedikit sebal mengetahui hal itu. Kenapa ia juga jadi harus melukis mata Daruma miliknya.

“Daruma itu bisa mengabulkan keinginan pemiliknya. Caranya dengan melukis mata sebelah kiri Daruma sambil mengucapkan keinginan sang pemiliknya. Setelah terkabul, maka lukislah mata yang sebelah kanan. Hingga akhirnya kedua mata Daruma menjadi lengkap.” Terang Mika seraya terenyum melihat Daruma bermata satu miliknya.

“Kalau begitu kamu sudah membuat keinginan?” Tanya Rana penasaran.

“Eitss… Yang satu ini rahasia aku, Tuhan, dan Daruma ini. Hahaha…”

Rana yang sedikit kesal hanya menatap pasrah ke arah Mika. Lelaki berperawakan tinggi keturunan Jepang itu memang tipikal orang yang sedikit mau menang sendiri. Matanya yang sipit dan wajahnya yang polos seakan mengkamuflase semuanya.

Bagaimana bisa Mika seperti itu? Bukankah selama ini dia selalu menceritakan segalanya pada Mika? Kenapa Mika malah menyembunyikan darinya?

“Sudah habis. Ayo pulang!” Mika segera memasukan kembali Daruma miliknya. Segera berkemas dan bergegas menuju tempatnya memarkir sepeda motor.

“Oya Ran. Hari ini kamu saja yang bayar ya! Uangku sudah habis untuk bensin. Rana baik deh, cantik lagi. Sudah ya aku tunggu di depan. Bye…” Mika segera berlari menuju motor kesayanganya.

“Ih… Mika selalu saja menang sendiri.”

***

Malam itu gerimis menaungi langit kota Bandung. Ditengah belajarnya, Rana menyempatkan diri melirik keadaan di luar sana. Dari jendela kmarnya keadaan terlihat gelap dan lembab karena gerimis. Tak jauh berbeda dengan hatinya yang diselimuti awan kelabu. Warna hati yang memendam perasaan untuk orang lain.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, pertanda satu pesan masuk diterima ponselnya yang berhasil mengalihkan perhatiannya. Rana membuka ponselnya perlahan. Membaca kata-kata yang tersusun dalam pesan tersebut.

From : Mika
‘Ran sudah tidur? Hanya mengingatkan jangan lupa kerjakan PR mu. Karena aku tak  akan memberimu kesempatan sama sekali! Ja! Oyasuminasai…(Baiklah! Selamat tidur)’

Rana hanya mendengus kaku dengan isi pesan Mika tersebut. Baru saja tangannya ingin mengetik balasan, tiba-tiba satu pesan kembali menghampiri kontak masuk ponselnya. Mika mengurungkan niatnya membalas pesan sahabatnya itu dan membuka pesan yang baru. Namun nama yang tertera masih sama, masih dengan nama Mika.
        
        Ketika Rana memutuskan untuk membalas pesan Mika yang baru tersebut, ponselnya kembali bergetar. Tapi nomor yang tertera di ponselnya itu nomor yang tak dikenal. Sebelumnya tak ada dalam kontak di ponselnya.
             
             From : 08123456789
 ‘Malam, ini dengan Rana? Tirana Larasati?’

Begitu kiranya bunyi pesan dari nomor asing tersebut. Sejenak Rana menerka kemungkinan pemilik nomor asing tersebut, namun karena tak kunjung mendapat jawaban akhirnya Rana membalas pesan tersebut.

To : 08123456789
‘Iya benar, ini siapa?’

From : 08123456789
‘Ini Zafran.’

“Rupanya nomor Kak Zafran!” Rana memekik kegirangan. Sedikit harapan tersirat dalam hatinya. Akhirnya arah mata angin yang selama ini ditunggu telah berubah. Sehingga membuat seorang Zafran memandang ke arahnya.

Sekilas gadis manis itu menatap ke arah meja nakasnya. Meatap Daruma yang mata kirinya sudah terlukis itu. Gadis penyuka es durian itu berharap semoga apa yang dikatakan Mika tentang Daruma itu benar. Setelah sedikit bergulat dengan pikirannya, Rana membalas pesan yang sudah lama dinanti menghampiri ponselnya tersebut.

Sementara itu, di kamar bernuansa biru, Mika terlihat sangat heran dan bisa dibilang  sedikit kesal mungkin. Alasannya tentu karena pesan untuk Rana darinya tak kunjung mendapat balasan.

Matanya menatap jam di ponselnya yang masih tertera pukul 20.00. Waktu yang masih sangat pagi untuk berkelana ke negeri mimpi. Biasanya pun Rana belum tidur sekarang. Apa mungkin karena hari hujan Rana tidur lebih dulu?

Mika menyibak gorden kamarnya. Namun sayang yang terlihat hanya gerimis yang menyelimuti kota Bandung. Jalanan di depan rumahnya sudah tampak mengkilat memantulkan lampu jalan karena basah. Suara gerimis yang turun pun bahkan tak kalah beradu dengan suara AC kamarnya, yang tetap menyala walau malam sedang turun hujan.

Mika meutuskan keluar dari rumahnya yang hanya dibatasi tembok pagar dengan rumah Rana, bermaksud melihat keadaan rumah tetangganya itu. Lebih tepatnya melihat apakan lampu kamar di sebelah pintu garasi itu masih menyala atau tidak. Memastikan keberadaan sang pemiliknya.

“Masih menyala.” Mika akhirnya menyerah. Memutuskan untuk masuk kembali, berlindung dari gerimis yang sedikit berbahaya itu. Dugaan terakhir, mungkin karena Rana sedang tidak ada pulsa, hingga tak bisa membalas pesannya.

***

Matahari dengan malu-malu mulai menampakan semburat sinarnya. Angin sejuk kota Bandung pun mulai menyapa. Mika telah siap dengan sepeda motornya. Bersiap kembali menempuh perjalanan menuju sekolahnya.

Satu tahun sudah Mika tinggal di Bandung. Hijarah dari Jakarta ke Bandung mengikuti pekerjaan orang tuanya. Bersama orang tuaya dan Riska, adik perempuan yang masih duduk di bangku sekolah menengahpertama, ia pindah ke rumah barunya di daerah Sarijadi. Rumah yang mempertemukannya dengan Rana yang kini menjadi sahabatnya.

5 menit sudah Mika bertengger di sepeda motornya. Beberapa kali melirik arlojinya yang terus bergerak namun yang ditunggu tak kunjung datang.

“Rana lama banget sih!”

“Tinn tinnn tinnn …” Suara klakson sepeda motornya pun kembali dibunyikan untuk yang ketiga kalinya.

“Rana cepat bisa kan?” Teriak Mika dari halaman rumahnya.

“Bang!” Seseorang menepuk bahu Mika dari belakang. “Kalau Abang menyukai seseorang itu harus diutarakan. Agar tak terus menunggu dan merasa sakit.” Lanjut Riska.

“Sok tahu nih adik Abang. Sudah sana berangkat! Anak SMP yang naik angkot ke sekolah tidak  boleh sampai telat.” Balas Mika menggoda sang adik.

“Yee… Abang. Nanti kalau Ka Rana sudah ada yang punya, baru deh…”

“Anak kecil sudah sana berangkat! Nanti telat.” Mika mendorong adiknya menuju gerbang.

“Mik ayo aku sudah se- eh ada Riska…” Rana yang tiba-tiba muncul dari pagar sebelah menginterupsi aksi dorong-mendorong kedua kakak beradik tersebut.

“Tahulah Bang yang mau berangkat naik motor bersama…” Setelah menggoda kakaknya kembali Riska berlari secepat kilat sebelum kakak tercintanya itu mengamuk.

“Riska awas ya nanti!”

“Sudah Mik, ayo kita berangkat nanti telat.” Rana bergegas keluar dari halaman rumahnya, menanti sepeda motor Mika di pintu gerbang.

“Waduh, harum sekali kamu Ran, tidak biasaya.” Rana yang tak peduli mulai menaiki motor Mika, mencari posisi duduk yang nyaman selama perjalanan menuju sekolah.

“Nanti aku ceritakan di jalan saja.”

Sepeda motor itu melaju mambawa mereka berdua. Meninggalkan harum aroma parfum Rana di pintu gerbang rumahnya. Perjalan yang akan membawa sedikit kabar gembira.

“Mik, kau tahu? tadi malam Kak Zafran mengirimku pesan …” Rana bercerita dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya.

“Oh.. Pantas pesanku  tak dibales.” Mika hanya acuh dan tetap melajukan motornya seperti biasa.

“Hehehe, maaf Mik.”

“Gak apa kok santai saja.”

Tak terasa mereka pun akhirnya sampai di sekolah. Mika segera memarkir sepeda motornya sebelum tempat parkir itu penuh oleh motor-motor lain.

“Mik makasih ya…” Rana menyerahkan helm yang dipakainya.

“Biasanya juga tak pernah bilang makasih.”

“Bukan buat tumpanganya, tapi buat Daruma. Karena karena Daruma atau bukan, pokoknya terimakasih.”

“Eh? Iya deh sama-sama.” Mika mencabut kunci motornya dan berjalan bersama menuju kelas.

Pagi itu sekolah cukup ramai. Seragam putih abu-abu menghiasi sudut sekolah. Dengan potongan rambut berbagai macam serta hiasan di atasnya bagi siswa perempuan, atau bahkan yang berkilau tanpa rambut sekalipun. Juga berbagai macam tas yang menggantung di bahu mereka, tipikal anak SMA.

“Rana!” Merasa seseorang memanggil namanya, Rana menoleh dan mencari sumber suara.

“Itu Kak Zafran Ran.” Mika menunjuk pada satu arah di ujung koridor.

“Mikaaaa…. Wish me luck ya (Doakan aku beruntung).” Rana kemudian menghmpiri Kak Zafran yang melambaika tangannya. Melihat itu Mika hanya tersenyum dan kembali berjalan menuju kelasnya. Ya, memang harusnya seperti itu bukan? Tidak terjadi apa-apa dan biarkan semua tetap berjalan seperti biasa.

Setelah pesan singkat itu, hubungan Rana dan Zafran semakin dekat. Bahkan kini Rana sudah tidak menumpang pada Mika lagi. Sudah ada seseorang yang megantar jemputnya setiap hari. Belajar pun tak lagi bersama Mika. Es Durian yang bisa dipesan 2 porsi itu pun kini hanya untuk Mika seorang diri. Semuanya terasa berbeda bagi Mika, walaupun ia mencoa menganggap semuanya baik-baik saja.

Rana mulai asyik dengan dunia barunya dan mungkin sedikit melupakannya. Mika sadar akan hal itu. Mika bahkan tahu pasti hal itu kan terjadi. Karena semua hal pasti ada waktunya. Lelaki itu juga merasa bersalah. Bersalah karena telah menaruh hati pada sahabtnya sendiri. Benar kata adiknya, “Di dunia ini tak akan ada laki-laki dan perempuan yang bersahabat Kak! Salah satunya pasti ada yang jatuh cinta.”

Beberapa minggu setelah kejadian pagi itu berlalu di siang hari yang terik, sepulang Mika membeli es duriannya, tiba-tiba satu pesan masuk baru berbunyi di ponselnya.

“Rana?” Sedikit guratan heran tergambar di wajahnya. Karena menurutnya sudah hampir 2 minggu ini Rana tidak pernah mengirim pesan untuknya. Ya. Sejak hubunganya dengan Zafran, orang yang ia sukai semakin dekat. Lalu, pertanda apakah ini?

From : Tirana
‘Mik, kamu ada di mana? Baru saja aku pergi ke rumahmu, tapi kau tak ada. Aku mau cerita Mik :’(‘

“Apa yang salah dengan Rana? Anak ini memang ada-ada saja.” Mika pun segera melajukan motornya menuju rumah Rana.

“Ran…” Mika segera memasuki rumah sahabatnya tersebut.

“Sedang apa kau Ran?” Mika menggelengkan kepala melihat keadaan Rana saat ini. Dirinya telah sampai di ruang keluarga rumah itu dan menyaksikan Rana tengah menonton televisi dengan tatapan mata yang kosong dan oh Tuhan! Dia menangis.

“Mik …” Rana memandang Mika sambil menyeka air matanya yang terus berjatuhan.

“Kenapa?”

“Kak Zafran, Kak Zafran jadian sama Teh Winda Mik.” Air mata Rana kembali menetes pertanda rasa sakit yang begitu dalam.

Begitulah jatuh cinta yang katanya indah, memiliki banyak filosofi dan arti. Jatuh cinta adalah persaan dimana hati berbuga-bunga dan selalu bahagia. Jatuh cinta adalah ketika kita rela berkorban untuk orang lain dan bahagia meihatnya bahagia. Jatuh cinta adalah ketika kita akan merasakan sebuah getaran hebat dan seakan sulit bernafas ketika bertemu, bertatap wajah, dan berbicara dengan seserang yang kita cintai. Ya, orang mengatakan berbagai macam hal tentang cinta.

Namun pada hakikatnya jatuh cinta juga memiliki resiko. Resiko yang berbeda bagi setiap penganutnya. Resiko untuk tak akan pernah bisa mengenalnya bagi penganut jatuh cinta sebagai  pengagum rahasia. Resiko patah hati bagi pengaut jatuh cinta sebagai seseorang yang mencintai kakak kelas atau teman yang popular di sekolah. Tak terkecuali pula resiko lainnya.

Kini Rana pun memiliki satu defnisi untuk cinta. Definisi yang ia dapatka sendiri dari perjalanan panjang kisah cintanya.

“Mik, ternya cinta itu adalah titipan perasaan bahagia yang harus siap jika sewaktu-waktu diambil oleh pemiliknya. Dan ketika diambil kembali rasanya benar benar sakit.”

“Udah Ran gak usah nangis gitu.”

“Cinta itu adalah jalan menuju persimpangan antara bahagia dan patah hati.” Rana masih terus menangis. Mengekspresikan rasa sakit di hatinya. Sakit yang benar-benar dalam saat itu. Bukankah rasanya sakit jika seseorang yang kau suka justru memilih orang lain ketika kamu memiliki kesempatan menjadi salah satu dari pilihannya?

Sampai sore hari Mika menghabiskan waktunya untuk mendengarkan semua cerita Rana. mendengarkan kekesalan Rana terhadap perasaan bernama cinta tersebut. Menghibur Rana uuntuk tidak terlalu larut dengan rasa sedihnya.

***

Esok sore sepulang sekolah, Mika tak seperti biasa yang mampir ke kedai es durian, tetapi langsung pulang. Dia cemas terhadap keadaan Rana. Hari ini Rana tidak masuk sekolah karena sedang sakit.

“Bang, kemarin kenapa lama sekali di rumah Teh Rana?” Riska kembali memenuhi rasa penasaran terhadap hubungan kakak kesayangannya ini.

“Oh… lelaki yang biasa menjemput Rana akhir-akhir ini. Lelaki yang disukainya itu berpacaran dengan orang lain.”

“Wah… bagus itu Bang.” Riska sumringah mendengar berita tersebut.

“Eh kok bagus Ris. Rana sekarang malah sakit. Abang rasa karena masalah Zafran itu.” Jelas Mika yang sedang berganti baju hendak menengok sahabatnya itu.

“Teh Rana sakit Bang? Tapi bagus kok Bang. Itu berarti Abang masih punya kesempatan.”

“Hus ah! Abang pergi ke rumah Rana dulu.” Mika tak peduli dengan ucapan adiknya itu. Toh pada akhirnya adik jahilnya itu akan kembali menggodanya jika tak segera pergi.

Di halaman rumah Rana tampak seorang wanita paruh baya sedang meyiram tanaman. Juga seorangnya lagi sedang menyapu halaman rumah.

“Maaf, tante Rana ada?” Mika bertanya dengan sopan pada wanita paruh baya yang sedang menyiram bunga tersebut. Wanita itu adalah ibu Rana.

“Ya, Mik masuklah. Rana ada di kamarnya.” Ibu Rana membukakan pintu gerbang untukku. Aku tersenyum mengucapkan terimakasih dan segera masuk.

“Tok tok tok. Ran? Ini Mika.”

“Oh Mika, masuk Mik…” Mika seegera masuk mendengar persetujuab dari sahabatnya itu.

“Ya ampun Rana!” Mika menggelengkan kepalanya. Saat itu keadaan Rana benar-benar kacau. Rambutnya berantakan, wajahnya yang terlihat kucal dan pucat, juga selembar kain di dahinya. Sepertinya tadi malam Rana baru di kompres oleh Ibunya.

“Ceritakan padaku. Apa ini sakit patah hati?” Tanya Mika sedikit menggoda.

“Bukan! Enak saja! Aku sudah tidak patah hati Mik, hanya masih kesal. Aku masuk angin tahu!” Rana menjelaskan panjang lebar membalas pertanyaan Mika.

“Bohong kamu!” Mika masih mencob menggoda Mika lagi.

“Kamu juga pembohong Mik.”Tiba-tiba Rana bicara seperti itu dan menoleh pada meja nakas kamarnya. Tempat Daruma mungil itu masih berdiri tegak.

“Aku pembohong?”

“Ya! Kau bilang Daruma itu bisa mengabulkan keinginan. Tapi mana? Keinginanku bukannya terkabul malah berbalik.” Jelas Rana sedikit kesal.

“Aku jujur Ran! Penjualnya sendiri yang mengatakan padaku. Memangnya apa keinginanmu?”

“Aku ingin tahun ini ada seseorang lelaki yang menyayangi dan mencintaiku dengan tulus sampai seterusnya. Tapi Kak Zafran malah berpacaran dengan orang lain. Itu yang kau katakn jujur Mik?”

“Daruma itu mengabulkannya Rana. Seseorang lelaki sudah menyayangi dan mencintaimu dengan tulus. Saat ini, esok, dan hari-hari berikutnya.” Mika tersenyum mengatakan hal itu. Matanya menatap dalam mata indah milik Rana. Menyampaikan semua perasaan yang sudah lama tersembunyi dalam dirinya. Kemudian, bolehkah saat ini Rana menganggap Mika menyukainya? Haruskah ia melukis sebelah mata Daruma yang lain?

Senin, 21 Juli 2014

Universitas Kehidupan

Jika semua yang kita ndaki terus kita miliki, darimana kita belajar ikhlas?

Jika semua yang kita impikan segera terwujud, darimana kita belajar sabar?

Jika setiap do'a kita dapat dikabulkan, bagaimana kita belajar ikhtiar?

Seseorang yang dekat dengan Tuhan, Bukan berarti tak ada air mata.

Seseorang yang taat dengan Tuhan, bukan berarti tak ada kekurangan.

Seseorang yang tekun berdo'a, bukan berarti tak ada masa sulit.

Biarlah Tuhan yang berdaulat sepenuhnya atas hidup kita.
Karena Tuhan tahu waktu yang tepat untuk memberikan yang terbaik.

Ketika kerjamu tidak dihargai, maka saat itu kamu sedang belajar tentang ketulusan.

Krtika usahamu dinilai tidak penting, maka saat itu kamu sedang belajar tentang keikhlasan.

Ketika kamu terluka sangat dalam, maka saat itu kamu sedang belajar tentang memaafkan.

Ketika kamu lelah dan kecewa,  maka saat itu kamu sedang belajar tentang  kesunguhan.

Ketika kamu merasa sepi dan sendiri, maka saat itu kamu sedang belajar tentang ketangguhan.

Ketika kamu harus membayar biaya yang sebenarnya tidak perlu kau tanggung, maka saat itu kamu sedang belajar kemurah-hatian.

Tetap semangat ...
Tetap sabar ...
Tetap tersenyum ...

Karena kamu sedang menimba ilmu diUniversitas Kehidupan.

Tuhan menaruhmu di "tempatmu" yang sekarang bukan karena "kebetulan"

Orang HEBAT tidak dilahirkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan.

Mereka dibentuk dari kesukaran, tantangan, dan air mata.





[Disadur dari buku "Sepatu Untuk Dahlan"]

Minggu, 20 Juli 2014

Catatan dari seorang teman bernama "Kegagalan"




Dulu ketika aku kecil mereka selalu bertanya apa cita-citaku, dengan yakin aku pun menjawab, "Aku ingin menjadi seorang Dokter." Kala itu hampir setiap anak perempuan menjawab hal serupa. Indahnya masa itu. Masa ketika bisa menikmati setiap detik kehidupan dengan senyum kebahagian.

Saat itu sebuah impian hanya terucap di mulut saja, tak berarti apa pun. Sampai tiba saatnya aku terus beranjak dewasa.

Tahun demi tahun kulalui. Barbagai macam peristiwa turut terjadi . Selama itu cita-citaku selalu berubah . Aku masih mencari, apa yang sebenarnya menjadi cita-citaku?