Dulu ketika aku kecil mereka selalu bertanya apa cita-citaku, dengan yakin aku pun menjawab, "Aku ingin menjadi seorang Dokter." Kala itu hampir setiap anak perempuan menjawab hal serupa. Indahnya masa itu. Masa ketika bisa menikmati setiap detik kehidupan dengan senyum kebahagian.
Saat itu sebuah impian hanya terucap di mulut saja, tak berarti apa pun. Sampai tiba saatnya aku terus beranjak dewasa.
Tahun demi tahun kulalui. Barbagai macam peristiwa turut terjadi . Selama itu cita-citaku selalu berubah . Aku masih mencari, apa yang sebenarnya menjadi cita-citaku?
Saat itu aku banyak menyaksikan orang-orang disekitarku yang selalu bersemangat melangkahkan kaki ke sekolah. Pernah terpikir olehku, apa yang membuat mereka begitu bersemangat? Bukankah sekolah hanya tuntutan rutinitas? Yang tanpa disukai atau tidak, disadari atau tidak, setiap pagi kita akan selalu tiba di sekolah.
Perlahan aku mulai sadar apa itu cita-cita. Hal yang membuat setiap orang menjadi lebih kuat dari yang ia bayangkan. Suatu hasrat mendalam yang memotivasi manusia.
Sejak berkecimpung dengan berbagai macam dunia dan terjebak dengan beragam runitas, aku memutuskan cita-citaku adalah menjadi seorang PENGUSAHA. Sejak memutuskan hal itu aku mulai bekerja keras. Belajar lebih giat lagi di level terakhir masa sekolahku.
Aku pun memutuskan mengambil bimbingan belajar di salah satu lembaga di kotaku. Segala upaya kulakukan untuk bisa mencapai cita-citaku tersebut. Setiap hari aku menghabiskan waktu untuk belajar. Pulang larut malam bahkan sudah menjadi hal biasa saat itu.
Beberapa orang temanku bertanya, "Kenapa kamu harus berjuang begitu keras hanya untuk menjadi seorang pengusaha? Tanpa sekolah tinggi pun kamu bisa menjadi pengusaha." Bahkan tak jarang kudapati mereka yang tak sejalan denga cita-citaku. Ya, ditilik dari berbagai hal aku memang banyak berbeda dari kawan sebayaku. Di saat mereka berlomba untuk menjadi seorang Pegawai Negeri, Diplomat, Lawyer, atau bahkan Pekerja Kantoran, aku hanya ingin menjadi pengusaha.
Tujuanku adalah ingin membuka lapangan pekerjaan. Tentunya juga ingin mencari rezeki dengan jalan tersebut, karena aku masih memiliki tanggung jawab terhadap adikku tercinta. Dalam Islam, berdagang adalah ladang rezeki . Itu alasan pertamaku. Kemudian seiring berjalannya waktu aku pernah mendengar bahwa syarat majunya sebuah negara adalah ketika minimal 2% dari warga negaranya adalah wirausahawan, lalu bagaimana dengan Indonesia saat ini? masih sangat kecil, baru mencapai 0,%.
Lalu jika begitu kenapa aku harus sekolah tinggi? Jawabannya adalah karena aku ingin menjadi pengusaha yang menjalankan bisnis dengan keahlian. Bukankah kehancuran yang akan didapat jika sebuah bidang tidak dijalankan oleh ahlinya? Alasan sederhananya hanya itu.
Bulan pun berlalu hingga Ujian Nasional tak terasa hanya tjnggal mengitung jam, dan setelahnya? Entahlah apa yang akan terjadi. Teman-temanku yang berkelana dengan kehidupan yang baru direncanakannya, begitu pun aku.
Namun, sebuah kegagalan menamparku kala itu. Impian yang telah kurencanakan pun hancur berantakan. Aku merasa apa yang telah aku perjuangkan terasa sia-sia.
Tak bisa dipungkiri betapa sakit rasanya hati ini ketika menyaksikan teman seperjuanganku justru tersenyum bangga. Yang paling menyakitkan adalah melihat air mata menetes dari mata indah ibundaku. Mata yang memancarkan kasih itu meredup. Saat itu aku berusaha tegar dihadapannya. Aku berusaha meyakinkannya bahwa masih ada jalan selanjutnya.
Walau begitu aku pun tak kuasa untuk tidak menangis. Aku bertanya pada Allah. Kenapa harus seperti ini? Bukankah sebuah perjuangan akan berkhir manis? Lalu kenapa tidak denganku. Aku dengan bodohnya bahkan berpikir, kemana Allah selama ini? Apa Allah tak pernah mendengar setiap do'a dalam sujudku? Apa Allah tak merasakan mata ini yang basah memohon padanya? Apa Allah tak menganggap usaha dan ibadahku selama ini?
Tanpa membuang waktu lagi kutingkatkan intensitas belajarku. Aku menggila, benar-benar menggila dari sebelumnya. Aku ingin membuat senyum merekah pada kedua orang yang kucintai dan anak perempuan manis yang kusayangi. Aku tak peduli dengan kesehatan. Tekadku adalah lolos seleksi pada universitas pilihanku.
Dengan optimis aku yakin aku pasti akan masuk. Mengingat usaha yang telah kulakukan, aku yakin kali ini impianku akan menjadi kenyataan.
Namun kegagalan itu lagi-lagi menyapaku. Hati ini benar-benar tak berbentuk lagi. Kenapa masih seperti ini? Apa rencanamu Ya Allah? Aku kembali melihatnya menangis. Betapa rendahnya diri ini. Apa sebegitu bodohkah aku. Setidak berharga itukah usahaku? Kenapa rasanya begitu sulit untukku?
Setelahnya kegagalan demi kegagalan masih akrab menyapa diriku. Aku mulai kehilangan semangat. Aku berpikir untuk apa aku terus berjuang jika hasilnya pun akan sama, berujung pada kegagalan.
Hingga suatu ketika aku membuka tulisan lamaku. Tulisan tangan itu berbunyi, "kegagalan bukan hal buruk, kegagalan adalah nama untuk seorang pemberani yang pernah memanjat." Saat itu hatiku tersentak. Urat nadiku berdenyut memaksaku bangkit. Kenapa aku selemah ini jika dulu aku bisa sangat kuat dan terus optimis.
Mulai saat itu kemana takdir Allah membawaku, aku akan tetap memanjat hingga puncak tertinggi. Aku yakin Allah mempersiapkan yang terbaik bagi hambanya dalam sebuah kegagalan. Mungkin usaha yang kuanggap keras itu belum seberapa dengan usaha yang mereka lakukan. Mereka yang kini menempati tempat yang aku inginkan.
Kepada setiap kawan yang membaca kisahku ini, aku mohon do'akan aku agar tetap tegar dan terus berserah pada Allah.
Indramyu, 21 Juli 2014
inspiratif..
BalasHapusterimakasih :)
Hapus