“Mik,
nanti siang jangan lupa ya!” Rana, gadis manis yang selalu menguncir kuda
rambut sebahunya itu tersenyum mengingatkan janji mereka ke arah seorang lelaki
yang juga membalas senyumnya. Memberi isyarat bahwa ia akan mengingat janji
yang telah mereka buat.
Ya.
Siang nanti seperti biasa Rana dan Mika akan bertualang menjajaki berbagai macam
rasa es durian yang menjadi makanan favorit mereka berdua. Mika dan Rana adalah
sahabat karib. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Mulai dari berkeliling
tempat-tempat untuk menghabiskan waktu bersama, berkeliling ke tempat-tempat
unik, mencicipi kuliner unik sampai menikmati berbagai tipikal berbeda setiap tempat
yang menjual es durian. Tak jauh memang, hanya kota Bandung dan sekitarnya.
Ketika
waktu pulang sekolah tiba, keduanya sudah siap sedia. Di tengah teriknya
matahari kota Bandung di awal Januari, mereka membelah jalanan kota Bandung
dengan sepeda motor milik Mika.
“Mik,
sekarang kita mau ke kedai es durian yang mana?” Seperti biasa, sikap supel
Rana selalu bisa memecah keheningan dengan membuka topik pembicaraan.
“Terserah
kamu deh, aku kan supir. Aku menurut saja.” Mika memang selalu begitu.
Menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Rana. Dia beranggapan bahwa Rana lebih
mengetahuinya dibanding dirinya.
“Kemana
ya? Ke kedai depan kompleks rumah kita ya Pak Mika?” Tawar Rana sembari
mengeluarkan lelucon ringannya.
“Baik
Bu. Segera meluncur. Pastikan sudah memakai sabuk pengaman.” Mika membalas
lelucon Rana. Mereka berdua hanya tertawa ringan dan segera melanjutkan
perjalanan.
Sepanjang
perjalanan Rana bercerita berbagai macam hal. Tak terkecuali tentang Zafran,
kakak kelas yang ia sukai sekitar setahun yang lalu. Menurutnya kakak kelas
yang berbeda satu tingkat diatasnya itu sangat tampan. Belum lagi dia adalah
ketua ekstrakulikuler basket di sekolahnya. Ditambah lagi namanya tak pernah ketingglan
dan selalu hadir dalam setiap perlombaan, baik akademik mau pun non akademik.
Seantero sekolah pun tahu kalau seorang Zafran adalah masternya Fisika.
“Ran,
kalau kamu menyukai seseorang setidaknya sedikit tahu diri tak ada salahnya
bukan?” Mika menanggapi cerita Rana tentang sosok Zafran yang entah sudah
keberapa kalinya.
“Maksud
kamu Kak Zafran terlalu tinggi untuk kuraih?”
“Eh…
maksudnya, ya sudah itu terserah kamu saja.” Akhirnya Mika mengalalah dan
mencabut perkataannya.
“Tapi
perkataanmu ada benarnya juga Mik.”
“Ya
sudah lupakan! Sekarang sudah sampai.”
Mika
memarkir motornya di halaman kedai es durian yang menjadi salah satu kedai
favorit mereka. Selain karena jaraknya yang lumayan dekat dari rumah mereka,
juga karena rasanya tak kalah dengan es durian di resto terkenal lain. Harganya
pun pas dengan kantung pelajar seperti mereka.
Mereka
memilih tempat di sudut kedai agar bisa bercerita banyak hal dengan leluasa.
Juga agar sesekali mereka bisa memandang jalanan di samping tempat duduk mereka
yang tepat berada di persimpangan jalan. Kedai itu tak terlalu mewah juga tidak
terlalu kumuh. Sederhana dan apa adanya. Di setiap meja terdapat empat tempat
duduk dengan warna yang senada, coklat teduh. Dan satu vas buga berisi bunga
yang berbeda di setiap mejanya.
“Mik,
bisakah sekarang kamu yang bercerita?” Pinta Rana setelah keduanya mendapatkan
es durian pesanan mereka.
“Apa
yang harus di ceritakan Ran? Hidupku sama seperti remaja lainnya. Rutinitas
yang sama dan kisah yang tak menarik.”
“Tidak
mungkin. Pasti ada setidak satu kisah unik yang kau alami. Misalnya tenang kau
menykai seorang gadis mungkin…”
“Uhuk!!”
Mika tersedak mendengar perkataan Rana.
“Kenapa
Mik?” Rana dengan segera menepuk-nepuk kecil punggung Mika.
“Kenapa
tiba-tiba tersedak sih? Ah… Benar kan perkataanku?” Rana mulai menerka perasaan
sahabatnya ini. Sedikit merasa keheranannya selama ini terjawab. Pasalnya sejak
kepindahan Mika dari Jakarta setahun yang lalu, Mika tak pernah bercerita
tentang ia yang menyukai seseorang atau apa pun mengenai hal itu.
“Anda
sangat pandai menebak hati seseorang ya ternyata. Hahaha. Sudah-sudah!” Mika
menginterupsi Rana agar menghentikan kegiatannya menepuk bahu Mika.
“Kamu
masih normal kan Mik?”
“Normal
atuh Ran!!” Mika membantah pertanyaan Rana yang sedikit menggelitik itu.
Kemudian keduanya kembali menikmati sendok demi sendok es durian yang mulai
mencair itu.
“Ini
buatmu.” Tiba-tiba Mika memberikan sesuatu dari dalam tasnya.
“Ya
ampun lucunyaa…. Ini apa Mika?” Puji Rana pada benda berbentuk nyaris bulat
tersebut. Benda itu berwara biru dan terlihat seperti boneka. Sedangkan
besarnya hanya seukuran genggaman tangan. Kecil dan mungil.
“Boneka
ini bernama Daruma. Kebetulan ketika liburan tahun baru kemarin berbarengan
pameran Jepang di Jakarta. Aku melihat ini dan aku membelinya untukmu.”
“Baiknya
Mika…” Rana tersenyum mengucapkan terimakasih.
“Kau
tahu? Bentuk Daruma yang hampir bulat itu mempunyai arti. Melalu bentuk
tubuhnya, Daruma seakan menyampaikan pesan bahwa ketika kita terjerembab, kita
harus cepat bangkit. Semangat itu yang ingin disampaikan boneka Daruma ini.
Lihatlah!” Mika menutup penjelasannya dengan mengambil Daruma milik Rana dan
mempraktikan perkataannya.
“Hwaaa
Sugoii…(Hebat)” Rana menatap takjub.
“Rupanya
sekarang ada yang sudah bisa berbahasa
Jepang nih.”Mika berkata sembari menatap Rana yang tersenyum bangga lalu
meletakan kembali boneka Daruma tersebut.
“Mika-san arigatou gozaimazu ne.(Mika,
terimakasih banyak)”
“Ya
sama-sama. Aku juga ada satu.” Mika memamerkan Daruma berwarna merah miliknya.
“Kenapa
hanya satu mata Daruma yang dilukis Mik?” Tunjuk Rana pada Daruma milik Mika.
“Kenapa
pula harus repot kita yang melukis? Kenapa tak membeli yang sudah bermata
lengkap? Eh… Punyaku malah tak ada dua-duanya.” Rana sedikit sebal mengetahui
hal itu. Kenapa ia juga jadi harus melukis mata Daruma miliknya.
“Daruma
itu bisa mengabulkan keinginan pemiliknya. Caranya dengan melukis mata sebelah
kiri Daruma sambil mengucapkan keinginan sang pemiliknya. Setelah terkabul,
maka lukislah mata yang sebelah kanan. Hingga akhirnya kedua mata Daruma
menjadi lengkap.” Terang Mika seraya terenyum melihat Daruma bermata satu
miliknya.
“Kalau
begitu kamu sudah membuat keinginan?” Tanya Rana penasaran.
“Eitss…
Yang satu ini rahasia aku, Tuhan, dan Daruma ini. Hahaha…”
Rana
yang sedikit kesal hanya menatap pasrah ke arah Mika. Lelaki berperawakan
tinggi keturunan Jepang itu memang tipikal orang yang sedikit mau menang
sendiri. Matanya yang sipit dan wajahnya yang polos seakan mengkamuflase
semuanya.
Bagaimana
bisa Mika seperti itu? Bukankah selama ini dia selalu menceritakan segalanya
pada Mika? Kenapa Mika malah menyembunyikan darinya?
“Sudah
habis. Ayo pulang!” Mika segera memasukan kembali Daruma miliknya. Segera berkemas
dan bergegas menuju tempatnya memarkir sepeda motor.
“Oya
Ran. Hari ini kamu saja yang bayar ya! Uangku sudah habis untuk bensin. Rana
baik deh, cantik lagi. Sudah ya aku tunggu di depan. Bye…” Mika segera berlari menuju motor kesayanganya.
“Ih…
Mika selalu saja menang sendiri.”
***
Malam
itu gerimis menaungi langit kota Bandung. Ditengah belajarnya, Rana
menyempatkan diri melirik keadaan di luar sana. Dari jendela kmarnya keadaan terlihat
gelap dan lembab karena gerimis. Tak jauh berbeda dengan hatinya yang
diselimuti awan kelabu. Warna hati yang memendam perasaan untuk orang lain.
Tiba-tiba
ponselnya bergetar, pertanda satu pesan masuk diterima ponselnya yang berhasil
mengalihkan perhatiannya. Rana membuka ponselnya perlahan. Membaca kata-kata
yang tersusun dalam pesan tersebut.
From
: Mika
‘Ran
sudah tidur? Hanya mengingatkan jangan lupa kerjakan PR mu. Karena aku tak akan memberimu kesempatan sama sekali! Ja! Oyasuminasai…(Baiklah! Selamat
tidur)’
Rana
hanya mendengus kaku dengan isi pesan Mika tersebut. Baru saja tangannya ingin
mengetik balasan, tiba-tiba satu pesan kembali menghampiri kontak masuk
ponselnya. Mika mengurungkan niatnya membalas pesan sahabatnya itu dan membuka
pesan yang baru. Namun nama yang tertera masih sama, masih dengan nama Mika.
Ketika Rana memutuskan untuk membalas pesan Mika yang
baru tersebut, ponselnya kembali bergetar. Tapi nomor yang tertera di ponselnya
itu nomor yang tak dikenal. Sebelumnya tak ada dalam kontak di ponselnya.
From : 08123456789
‘Malam,
ini dengan Rana? Tirana Larasati?’
Begitu kiranya bunyi
pesan dari nomor asing tersebut. Sejenak Rana menerka kemungkinan pemilik nomor
asing tersebut, namun karena tak kunjung mendapat jawaban akhirnya Rana membalas
pesan tersebut.
To
: 08123456789
‘Iya
benar, ini siapa?’
From
: 08123456789
‘Ini
Zafran.’
“Rupanya
nomor Kak Zafran!” Rana memekik kegirangan. Sedikit harapan tersirat dalam hatinya.
Akhirnya arah mata angin yang selama ini ditunggu telah berubah. Sehingga
membuat seorang Zafran memandang ke arahnya.
Sekilas
gadis manis itu menatap ke arah meja nakasnya. Meatap Daruma yang mata kirinya
sudah terlukis itu. Gadis penyuka es durian itu berharap semoga apa yang
dikatakan Mika tentang Daruma itu benar. Setelah sedikit bergulat dengan
pikirannya, Rana membalas pesan yang sudah lama dinanti menghampiri ponselnya
tersebut.
Sementara
itu, di kamar bernuansa biru, Mika terlihat sangat heran dan bisa dibilang sedikit kesal mungkin. Alasannya tentu karena
pesan untuk Rana darinya tak kunjung mendapat balasan.
Matanya
menatap jam di ponselnya yang masih tertera pukul 20.00. Waktu yang masih
sangat pagi untuk berkelana ke negeri mimpi. Biasanya pun Rana belum tidur
sekarang. Apa mungkin karena hari hujan Rana tidur lebih dulu?
Mika
menyibak gorden kamarnya. Namun sayang yang terlihat hanya gerimis yang
menyelimuti kota Bandung. Jalanan di depan rumahnya sudah tampak mengkilat
memantulkan lampu jalan karena basah. Suara gerimis yang turun pun bahkan tak
kalah beradu dengan suara AC kamarnya, yang tetap menyala walau malam sedang
turun hujan.
Mika
meutuskan keluar dari rumahnya yang hanya dibatasi tembok pagar dengan rumah
Rana, bermaksud melihat keadaan rumah tetangganya itu. Lebih tepatnya melihat
apakan lampu kamar di sebelah pintu garasi itu masih menyala atau tidak.
Memastikan keberadaan sang pemiliknya.
“Masih
menyala.” Mika akhirnya menyerah. Memutuskan untuk masuk kembali, berlindung
dari gerimis yang sedikit berbahaya itu. Dugaan terakhir, mungkin karena Rana
sedang tidak ada pulsa, hingga tak bisa membalas pesannya.
***
Matahari dengan malu-malu
mulai menampakan semburat sinarnya. Angin sejuk kota Bandung pun mulai menyapa.
Mika telah siap dengan sepeda motornya. Bersiap kembali menempuh perjalanan
menuju sekolahnya.
Satu
tahun sudah Mika tinggal di Bandung. Hijarah dari Jakarta ke Bandung mengikuti
pekerjaan orang tuanya. Bersama orang tuaya dan Riska, adik perempuan yang
masih duduk di bangku sekolah menengahpertama, ia pindah ke rumah barunya di
daerah Sarijadi. Rumah yang mempertemukannya dengan Rana yang kini menjadi
sahabatnya.
5
menit sudah Mika bertengger di sepeda motornya. Beberapa kali melirik arlojinya
yang terus bergerak namun yang ditunggu tak kunjung datang.
“Rana
lama banget sih!”
“Tinn
tinnn tinnn …” Suara klakson sepeda motornya pun kembali dibunyikan untuk yang
ketiga kalinya.
“Rana
cepat bisa kan?” Teriak Mika dari halaman rumahnya.
“Bang!”
Seseorang menepuk bahu Mika dari belakang. “Kalau Abang menyukai seseorang itu harus
diutarakan. Agar tak terus menunggu dan merasa sakit.” Lanjut Riska.
“Sok
tahu nih adik Abang. Sudah sana berangkat! Anak SMP yang naik angkot ke sekolah
tidak boleh sampai telat.” Balas Mika
menggoda sang adik.
“Yee…
Abang. Nanti kalau Ka Rana sudah ada yang punya, baru deh…”
“Anak
kecil sudah sana berangkat! Nanti telat.” Mika mendorong adiknya menuju
gerbang.
“Mik
ayo aku sudah se- eh ada Riska…” Rana yang tiba-tiba muncul dari pagar sebelah menginterupsi
aksi dorong-mendorong kedua kakak beradik tersebut.
“Tahulah
Bang yang mau berangkat naik motor bersama…” Setelah menggoda kakaknya kembali
Riska berlari secepat kilat sebelum kakak tercintanya itu mengamuk.
“Riska
awas ya nanti!”
“Sudah
Mik, ayo kita berangkat nanti telat.” Rana bergegas keluar dari halaman
rumahnya, menanti sepeda motor Mika di pintu gerbang.
“Waduh,
harum sekali kamu Ran, tidak biasaya.” Rana yang tak peduli mulai menaiki motor
Mika, mencari posisi duduk yang nyaman selama perjalanan menuju sekolah.
“Nanti
aku ceritakan di jalan saja.”
Sepeda
motor itu melaju mambawa mereka berdua. Meninggalkan harum aroma parfum Rana di
pintu gerbang rumahnya. Perjalan yang akan membawa sedikit kabar gembira.
“Mik,
kau tahu? tadi malam Kak Zafran mengirimku pesan …” Rana bercerita dengan
senyum yang selalu menghiasi wajahnya.
“Oh..
Pantas pesanku tak dibales.” Mika hanya acuh
dan tetap melajukan motornya seperti biasa.
“Hehehe,
maaf Mik.”
“Gak
apa kok santai saja.”
Tak
terasa mereka pun akhirnya sampai di sekolah. Mika segera memarkir sepeda
motornya sebelum tempat parkir itu penuh oleh motor-motor lain.
“Mik
makasih ya…” Rana menyerahkan helm yang dipakainya.
“Biasanya
juga tak pernah bilang makasih.”
“Bukan
buat tumpanganya, tapi buat Daruma. Karena karena Daruma atau bukan, pokoknya
terimakasih.”
“Eh?
Iya deh sama-sama.” Mika mencabut kunci motornya dan berjalan bersama menuju
kelas.
Pagi
itu sekolah cukup ramai. Seragam putih abu-abu menghiasi sudut sekolah. Dengan
potongan rambut berbagai macam serta hiasan di atasnya bagi siswa perempuan,
atau bahkan yang berkilau tanpa rambut sekalipun. Juga berbagai macam tas yang
menggantung di bahu mereka, tipikal anak SMA.
“Rana!”
Merasa seseorang memanggil namanya, Rana menoleh dan mencari sumber suara.
“Itu
Kak Zafran Ran.” Mika menunjuk pada satu arah di ujung koridor.
“Mikaaaa….
Wish me luck ya (Doakan aku
beruntung).” Rana kemudian menghmpiri Kak Zafran yang melambaika tangannya. Melihat
itu Mika hanya tersenyum dan kembali berjalan menuju kelasnya. Ya, memang harusnya
seperti itu bukan? Tidak terjadi apa-apa dan biarkan semua tetap berjalan
seperti biasa.
Setelah
pesan singkat itu, hubungan Rana dan Zafran semakin dekat. Bahkan kini Rana
sudah tidak menumpang pada Mika lagi. Sudah ada seseorang yang megantar jemputnya
setiap hari. Belajar pun tak lagi bersama Mika. Es Durian yang bisa dipesan 2
porsi itu pun kini hanya untuk Mika seorang diri. Semuanya terasa berbeda bagi
Mika, walaupun ia mencoa menganggap semuanya baik-baik saja.
Rana
mulai asyik dengan dunia barunya dan mungkin sedikit melupakannya. Mika sadar
akan hal itu. Mika bahkan tahu pasti hal itu kan terjadi. Karena semua hal
pasti ada waktunya. Lelaki itu juga merasa bersalah. Bersalah karena telah
menaruh hati pada sahabtnya sendiri. Benar kata adiknya, “Di dunia ini tak akan
ada laki-laki dan perempuan yang bersahabat Kak! Salah satunya pasti ada yang
jatuh cinta.”
Beberapa
minggu setelah kejadian pagi itu berlalu di siang hari yang terik, sepulang
Mika membeli es duriannya, tiba-tiba satu pesan masuk baru berbunyi di
ponselnya.
“Rana?”
Sedikit guratan heran tergambar di wajahnya. Karena menurutnya sudah hampir 2
minggu ini Rana tidak pernah mengirim pesan untuknya. Ya. Sejak hubunganya
dengan Zafran, orang yang ia sukai semakin dekat. Lalu, pertanda apakah ini?
From
: Tirana
‘Mik,
kamu ada di mana? Baru saja aku pergi ke rumahmu, tapi kau tak ada. Aku mau
cerita Mik :’(‘
“Apa
yang salah dengan Rana? Anak ini memang ada-ada saja.” Mika pun segera
melajukan motornya menuju rumah Rana.
“Ran…”
Mika segera memasuki rumah sahabatnya tersebut.
“Sedang
apa kau Ran?” Mika menggelengkan kepala melihat keadaan Rana saat ini. Dirinya
telah sampai di ruang keluarga rumah itu dan menyaksikan Rana tengah menonton
televisi dengan tatapan mata yang kosong dan oh Tuhan! Dia menangis.
“Mik
…” Rana memandang Mika sambil menyeka air matanya yang terus berjatuhan.
“Kenapa?”
“Kak
Zafran, Kak Zafran jadian sama Teh Winda Mik.” Air mata Rana kembali menetes
pertanda rasa sakit yang begitu dalam.
Begitulah
jatuh cinta yang katanya indah, memiliki banyak filosofi dan arti. Jatuh cinta
adalah persaan dimana hati berbuga-bunga dan selalu bahagia. Jatuh cinta adalah
ketika kita rela berkorban untuk orang lain dan bahagia meihatnya bahagia.
Jatuh cinta adalah ketika kita akan merasakan sebuah getaran hebat dan seakan
sulit bernafas ketika bertemu, bertatap wajah, dan berbicara dengan seserang yang
kita cintai. Ya, orang mengatakan berbagai macam hal tentang cinta.
Namun
pada hakikatnya jatuh cinta juga memiliki resiko. Resiko yang berbeda bagi
setiap penganutnya. Resiko untuk tak akan pernah bisa mengenalnya bagi penganut
jatuh cinta sebagai pengagum rahasia.
Resiko patah hati bagi pengaut jatuh cinta sebagai seseorang yang mencintai
kakak kelas atau teman yang popular di sekolah. Tak terkecuali pula resiko
lainnya.
Kini
Rana pun memiliki satu defnisi untuk cinta. Definisi yang ia dapatka sendiri
dari perjalanan panjang kisah cintanya.
“Mik,
ternya cinta itu adalah titipan perasaan bahagia yang harus siap jika
sewaktu-waktu diambil oleh pemiliknya. Dan ketika diambil kembali rasanya benar
benar sakit.”
“Udah
Ran gak usah nangis gitu.”
“Cinta
itu adalah jalan menuju persimpangan antara bahagia dan patah hati.” Rana masih
terus menangis. Mengekspresikan rasa sakit di hatinya. Sakit yang benar-benar
dalam saat itu. Bukankah rasanya sakit jika seseorang yang kau suka justru
memilih orang lain ketika kamu memiliki kesempatan menjadi salah satu dari
pilihannya?
Sampai
sore hari Mika menghabiskan waktunya untuk mendengarkan semua cerita Rana. mendengarkan
kekesalan Rana terhadap perasaan bernama cinta tersebut. Menghibur Rana uuntuk
tidak terlalu larut dengan rasa sedihnya.
***
Esok
sore sepulang sekolah, Mika tak seperti biasa yang mampir ke kedai es durian,
tetapi langsung pulang. Dia cemas terhadap keadaan Rana. Hari ini Rana tidak
masuk sekolah karena sedang sakit.
“Bang,
kemarin kenapa lama sekali di rumah Teh Rana?” Riska kembali memenuhi rasa penasaran
terhadap hubungan kakak kesayangannya ini.
“Oh…
lelaki yang biasa menjemput Rana akhir-akhir ini. Lelaki yang disukainya itu berpacaran
dengan orang lain.”
“Wah…
bagus itu Bang.” Riska sumringah mendengar berita tersebut.
“Eh
kok bagus Ris. Rana sekarang malah sakit. Abang rasa karena masalah Zafran
itu.” Jelas Mika yang sedang berganti baju hendak menengok sahabatnya itu.
“Teh
Rana sakit Bang? Tapi bagus kok Bang. Itu berarti Abang masih punya
kesempatan.”
“Hus
ah! Abang pergi ke rumah Rana dulu.” Mika tak peduli dengan ucapan adiknya itu.
Toh pada akhirnya adik jahilnya itu akan kembali menggodanya jika tak segera
pergi.
Di
halaman rumah Rana tampak seorang wanita paruh baya sedang meyiram tanaman.
Juga seorangnya lagi sedang menyapu halaman rumah.
“Maaf,
tante Rana ada?” Mika bertanya dengan sopan pada wanita paruh baya yang sedang
menyiram bunga tersebut. Wanita itu adalah ibu Rana.
“Ya,
Mik masuklah. Rana ada di kamarnya.” Ibu Rana membukakan pintu gerbang untukku.
Aku tersenyum mengucapkan terimakasih dan segera masuk.
“Tok
tok tok. Ran? Ini Mika.”
“Oh
Mika, masuk Mik…” Mika seegera masuk mendengar persetujuab dari sahabatnya itu.
“Ya
ampun Rana!” Mika menggelengkan kepalanya. Saat itu keadaan Rana benar-benar
kacau. Rambutnya berantakan, wajahnya yang terlihat kucal dan pucat, juga selembar
kain di dahinya. Sepertinya tadi malam Rana baru di kompres oleh Ibunya.
“Ceritakan
padaku. Apa ini sakit patah hati?” Tanya Mika sedikit menggoda.
“Bukan!
Enak saja! Aku sudah tidak patah hati Mik, hanya masih kesal. Aku masuk angin
tahu!” Rana menjelaskan panjang lebar membalas pertanyaan Mika.
“Bohong
kamu!” Mika masih mencob menggoda Mika lagi.
“Kamu
juga pembohong Mik.”Tiba-tiba Rana bicara seperti itu dan menoleh pada meja
nakas kamarnya. Tempat Daruma mungil itu masih berdiri tegak.
“Aku
pembohong?”
“Ya!
Kau bilang Daruma itu bisa mengabulkan keinginan. Tapi mana? Keinginanku
bukannya terkabul malah berbalik.” Jelas Rana sedikit kesal.
“Aku
jujur Ran! Penjualnya sendiri yang mengatakan padaku. Memangnya apa
keinginanmu?”
“Aku
ingin tahun ini ada seseorang lelaki yang menyayangi dan mencintaiku dengan
tulus sampai seterusnya. Tapi Kak Zafran malah berpacaran dengan orang lain.
Itu yang kau katakn jujur Mik?”
“Daruma
itu mengabulkannya Rana. Seseorang lelaki sudah menyayangi dan mencintaimu
dengan tulus. Saat ini, esok, dan hari-hari berikutnya.” Mika tersenyum
mengatakan hal itu. Matanya menatap dalam mata indah milik Rana. Menyampaikan
semua perasaan yang sudah lama tersembunyi dalam dirinya. Kemudian, bolehkah
saat ini Rana menganggap Mika menyukainya? Haruskah ia melukis sebelah mata
Daruma yang lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar