Rabu, 19 Juni 2013 | 20:29 WIB
ITP NET
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pembajakan software di Indonesia dinilai semakin mengkhawatirkan. Nilai pembajakan disinyalir terus menanjak dari tahun ke tahun.
Potensi kerugian hingga belasan triliun rupiah tak hanya harus ditanggung perusahaan pembuat software. Tapi juga, hilangnya penerimaan negara dari pajak.
Hal tersebut, diungkapkan kuasa hukum pemegang hak cipta software, Maya Ghita Gunadi. Menurut Maya, untuk meredam angka pembajakan tersebut, sejumlah perusahaan software di Indonesia telah melakukan berbagai upaya.
Yakni, dari edukasi, sosialisasi, hingga penindakan terhadap pelanggar hak cipta, dengan menggandeng pihak kepolisian dan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan intelektual Indonesia (Ditjen HKI).
"Sejumlah perusahaan pemilik hak cipta software melakukan upaya hukum berupa pelaporan pidana terkait perbuatan/ pelanggaran,'' ujar Maya kepada wartawan.
Pelanggaran yang dilaporkan, kata dia, misalnya melakukan penginstalan software yang tidak berlisensi pada unit PC/ laptop oleh sejumlah toko komputer di tanah air. Penginstalan software tersebut, kata dia, melanggar pasal 27 ayat 1 undang-undang (UU) Hak Cipta No 19 tahun 2002.
"Pelaporan, tersebut disampaikan kepada Markas Besar Kepolisian republik Indonesia. Yakni, menyangkut penjualan sofware bajakan," katanya.
Upaya hukum tersebut, menurut dia, merupakan bagian dari program 'Be Safe With Genuine' dan 'Mall IT Bersih' yag digelar sejumlah perusahaan software di tanah air.
Melalui program tersebut, hingga saat ini ditemukan lebih dari 5000 software ilegal – CD software dan hardisc loading - dari sejumlah toko komputer di beberapa mall IT di tanah air.
Modus yang sering digunakan dalam pembajakan software tersebut, kata dia, adalah dengan cara penjualan PC/ laptop 'naked' atau tidak ada software-nya sama sekali. Hal itu, menurut dia, memang tidak melanggar hukum, tapi berpotensi mendorong pembeli untuk memasang software bajakan.
"Apalagi dalam praktiknya ternyata toko/ penjual menawarkan/ memberi informasi pihak ketiga yang bisa menginstall PC/ Laptop 'naked' tersebut dengan software ilegal,” katanya.
Menurut Maya, software bajakan tidak hanya merugikan pemegang hak cipta. Tapi, merugikan negara dari pendapatan pajak karena pajak yang tidak dibayar oleh konsumen. Lebih bahaya lagi untuk konsumen pembeli beresiko terhadap paparan virus/malware berbahaya.
Berdasarkan Studi Forensik Komputer di wilayah Asia Tenggara pada 2013, terungkap dari pemeriksaan ahli forensik ditemukan sebanyak 59.09 persen dari sampel HDD (Hard Disc Drive) terinfeksi malware, sedangkan 100 persen dari sampel DVD software (piranti lunak dalam bentuk cakram optik) terinfeksi malware.
Ribuan, malware tersebut ditemukan dari hasil pemeriksaan forensik terhadap sampling 216 komputer bermerek baru yang menggunakan piranti lunak ilegal (bajakan) yang dibeli di 5 negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, Studi Dampak Pemalsuan terhadap Perekonomian Indonesia yang dilakukan oleh MIAP dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) pada 2010 menyatakan, produk software ilegal menjadi salah satu produk yang banyak digunakan oleh konsumen Indonesia.
Yaitu, sebesar 34,1 persen. Peredaran barang ilegal dan palsu (termasuk software) disinyalir telah meimbulkan kerugian negara, kehilangan potensi pajak hingga Rp.43 triliun.
Sementara itu, riset International Data Corporation (IDC) 2012 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-11 di dunia dengan jumlah peredaran software bajakan sebesar 86 persen. Nilai kerugiannya diperkirakan mencapai 1,46 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 12,8 triliun, naik sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya.
Peningkatan aktivitas pembajakan itu pada akhirnya menekan komersialisasi produk asli seperti software legal di tanah air yang tercatat hanya 239 juta dolar AS.
Hasil riset tersebut menyebutkan, jika terjadi penurunan tingkat pembajakan sebesar 10 persen untuk periode 2010-2013, maka pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia akan meningkat 2,4 juta dolar AS. Kemudian tenaga kerja yang terserap mencapai 1.884 dengan kualifikasi high tech/high skills serta pendapatan pajak sebesar 124 juta dolar AS.
Rep: Arie Lukihardianti / Red: Djibril Muhammad
Headline berita tanggal 19 Juni 2013 itu begitu menarik untuk menjadi bahan pembahasan mengenai kasus pelanggaran hak cipta.
Sebelumnya penulis akan jelaskan sedikit mengenai hak cipta. Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Berdasarkan rumusan pasal 1 UHC Indonesia). Hal ini menunjukkan bahwa hak cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si pencipta atau si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususnya yang boleh menggunakan hak cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subjek lain yang menggangu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang diperkenankan oleh aturan hukum.
Hak cipta merupakan hak ekslusif, yang memberi arti bahwa selain pencipta maka orang lain tidak berhak atasnya kecuali atas izin penciptanya. Hak itu muncul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan. Hak cipta tidak dapat dilakuakn dengan cara penyerahan nyata karena ia mempunyai sifat manunggal dengan penciptanya dan bersifat tidak berwujud videnya penjelasan pasal 4 ayat 1 UHC Indonesia. Sifat manunggal itu pula yang menyebabkan hak cipta tidak dapat digadaikan, karena jika digadaikan itu berarti si pencipta harus pula ikut beralih ke tangan kreditur.
Dengan adanya hak cipta tersebut maka karya-karya yang dihasilkan akan memiliki perlindungan hukum selama jangka waktu yang masih berlaku. Berikut adalah jangka waktu perlindungan hukum terhadap hak cipta:
1) Ciptaan buku, ceramah, alat peraga, lagu, drama, tari, seni rupa, arsitektur, peta, seni batik terjemahan, tafsir, saduran, berlaku selama hidup Pencipta ditambah 50 tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
2) Ciptaan program komputer, sinematografi, fotografi, database, karya hasil pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
3) Ciptaan atas karya susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan, berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali diterbitkan.
4) Ciptaan yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
5) Ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh Negara berdasarkan : Ketentuan Pasal 10 Ayat
(2) huruf b, berlaku tanpa batas.
Sebagai mahasiswa penulis memang sangat mudah sekali menemukan pembajakan software tersebut. Mungkin salah satu alasan masyarakat lebih menyukai menggunakan software bajakan adalah karena harganya yang murah dibandingkan software asli yang dijual secara resmi apalagi bagi kalangan mahasiswa. Sebenarnya hal tersebut memang tidak baik dan justru merugikan karena dapat menyebakan virus malware seperti yang dipaparkan dalam headline tersebut akan menyebar pada pc yang kita gunakan. Namun sekali lagi alasan ekonomi akan menghalalkan hal tersebut.
Maka jika diteruskan lagi, permasalahan ini juga akan berhubungan kepada permasalahan perekonomian, pendidikan, hingga pemerintahan negeri ini yang masih menjadi pekerjaan rumah seluruh warga Indonesia.
Semoga kita sebagai manusia dapat lebih menghargai lagi karya seseorang dan menjadi manusia yang lebih bertanggung jawab.