Aku menyeruput kopi tubruk favoritku. Dengan panas yang
sedang aku menikmati rasanya yang pahit sedikit manis. Menyesapi harumnya yang
menggelitik hidung ini, membawa candu untuk tetap mengirupnya.
Rintik hujan di luar sana masih terdengar sangat jelas. Bau
harum tanah menyeruak memaksaku membagi harum kopi ini di pagi yang gerimis.
Jalanan di hadapanku tampak sepi. Hanya ada beberapa pejalan kaki denga suara
ceplak telapak kakinya yang terdengar jelas. Dengan berlindung di bawah payung
mereka tetap berjalan.
“Tumben sepi ya Pak.” Aku membuka suara, mengajak berbincang
Pak Anwar pemilik kedai kopi langgananku.
“Ini kan hari Minggu Neng mungkin manusia-manusia itu masih
terbuai dalam mimpi masing-masing.” Pak Anwar menjawab pertanyaanku seraya menata
apik kedainya. Memang sepagi ini kedai baru dibuka sehingga Pak Anwar masih
sibuk menata dagangannya.
‘Ah iya aku lupa ini
hari Minggu.’ Beginilah hari-hari seorang manusia yang masih sendiri.
Bahkan hari apa pun saat itu bisa lupa.
Aku menyeruput kopi tubruk itu untuk kedua kalinya.
Menyesapi kembali harumnya yang menggoda.
“Pak kopinya satu.” Aku menoleh sedikit ke arah suara
tersebut, seorang lelaki bertubuh tinggi dengan wajah teduh yang baru saja
memesan kopi.
“Manis atau pahit Kang?” Tanya Pak Anwar.
“Manis saja Pak.”
Setelah itu aku kembali menatap buku agendaku, memastikan
jadwalku hari ini dan esok yang hanya tergores beberapa janji dengan teman, deadline dan beberapa dosen di kampus.
“Hei, suka kopi tubruk juga?” Mendengar seseorang
memanggilku aku mengadahkan kepalaku, menatap si lelaki pemesan kopi tersebut.
“Ya.” Jawabku singkat.
“Tak biasanya seorang wanita menyukai kopi tubruk.”
“Benarkah?”
“Ya, kebanyakan wanita menyukai kopi cappuccino dengan
creamer dan tambahan rasa lain.” Jawabnya penuh percaya diri.
“Untungnya aku tidak. Kau juga suka kopi tubruk?”
“Ya, karena kopi tubruk itu mewakili kehidupan ini. Dengan rasanya
yang pahit namun sedikit manis dengan tambahan gula. Harumnya yang menggoda
membuat kita merasakan candunya.”
“Dan butiran kopi yang masih tersisa dalam gelas ketika kita
sudah selesai menikmatinya.” Tiba-tiba saja aku menambahkan argumennya.
“Seperti hidup yang tak selalu manis, namun akan terasa
manis bila kita sedikit membubuhinya dengan bersyukur dan ikhlas. Membuat kita
ingin kembali merasakan berbagai tantangan dalam hidup walau rasanya pahit.”
“Dan selalu meninggalkan kenangan unik tersendiri.” Kemabali
tanpa aku sadari aku masuk ke dalam argumennya.
“Manandakan bahwa penyuka kopi tubruk seorang yang
sederhana, tak peduli penampilan, kuat walau sedikit kasar. Tetapi selalu
membuat kecanduan semua penikmat rasanya.”
Jelasnya dengan senyum merekah.
“Penulis?” Tanyaku pada lelaki itu.
“Tidak, hanya sesekali menulis.” Jawabnya dengan tenang
sambil mempertahankan senyum yang menimbulkan kesan ramah dirinya.
“Oh…” Aku hanya menjawab singkat dan kembali menyeruput
kopiku.
“Leo…” Lelaki itu menjulurkan tangannya. Memperkenalkan dirinya
tanpa aku minta.
“Tirana…” Jawabku singkat dan membalas uluran tangannya sebelum
akhirnya tersenyum. Menandakan
bahwa aku menerima dirinya.
“Ini Kang kopinya..” Pak Anwar menyugguhkan kopi pesanan
Leo.
“Oh iya Pak, terimakasih.”
“Sepertinya aku akan lebih sering menimati kopi di sini.”
Ucapnya sambil tersenyum sekilas ke arahku dan
kemudian larut dalam kenikmatan
secangkir kopi tubruk.
‘Sepertinya aku
menyukai lelaki ini’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar