Solusi
Dari permasalahan diatas saya akan mencoba memberikan solusi yang diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan permasalahan diatas. Sebagai berikut :
- Sebagai masyarakat Indonesia yang baik kita harus tetap peka terhadap hukum di indonesia, harus tahu hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik, yang nantinya akan menjadi kebiasaan dikemudian hari sehingga Indonesia menjadi negara yang bersih.
- Melakukan pembersihan (brainwash) didalam lembaga pengadilan republik Indonesia untuk menghilangkan opnum-opnum yang mencari keuntungan yang mengatasnamakan hukum.
- Memberikan nilai standar yang tinggi bagi para calon hakim agar tidak sampai salah memilih hakim yang nantinya akan bertugas.
- Memberikan pelajaran religius yang lebih dalam lagi tentang haramnya korupsi dan penerimaan uang suap bagi penegak hukum mulai dari sekolah-sekolah hukum.
Akhir-akhir
ini lembaga peradilan Indonesia mendapat sorotan besar dari berbagai
kalangan. Pasalnya, lembaga peradilan yang seharusnya mampu mewujudkan
rasa adil bagi seluruh masyarakat, justru tidak jarang hanya tajam ke
bawah, namun tumpul saat mengarah ke kasus-kasus yang melibatkan
penguasa.
Menanggapi fenomena tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito menuturkan, seharusnya aparat penegak hukum mampu menelaah dan memahami secara utuh arti dari keadilan itu sendiri, sebagai suatu modal untuk dapat mewujudkan peradilan terhadap semua pihak.
“Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan dia pegang,” kata Sudjito dalam acara workshop dengan tema ‘Mendorong Keterbukaan Pengambilan Putusan di MA’, yang digelar di Hotel Aston, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (24/1/2013) kemarin seperti dilansir okezone.com.
Dia menambahkan, proses yang berjalan di lembaga peradilan Indonesia saat ini cenderung dilakukan hanya dengan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang di permukaan saja, bukan sepenuhnya memahami inti dari kasus yang sedang ditangani.
“Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja,” ungkapnya.
Bahkan, kata Sudjito, para hakim yang entah tidak berani atau tidak mau untuk sampai pada hakekat keadilan yang bersifat progress. “Dengan begitu, maka keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal. Keadilan yang hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. Itu saja,” paparnya.
Dengan demikian, sambungnya, dapat dikatakan bahwa sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum benar-benar terwujud dengan baik, dan keadilan di Indonesia hanyalah bersifat formalitas atau simbolik semata.
“Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya aja, tapi UU kayak apa? Itulah pertanyaannya. Nah, corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/25/26308-keadilan-di-indonesia-baru-sebatas-formalitas.html#sthash.qJDYNsGr.dpuf
Menanggapi fenomena tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito menuturkan, seharusnya aparat penegak hukum mampu menelaah dan memahami secara utuh arti dari keadilan itu sendiri, sebagai suatu modal untuk dapat mewujudkan peradilan terhadap semua pihak.
“Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan dia pegang,” kata Sudjito dalam acara workshop dengan tema ‘Mendorong Keterbukaan Pengambilan Putusan di MA’, yang digelar di Hotel Aston, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (24/1/2013) kemarin seperti dilansir okezone.com.
Dia menambahkan, proses yang berjalan di lembaga peradilan Indonesia saat ini cenderung dilakukan hanya dengan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang di permukaan saja, bukan sepenuhnya memahami inti dari kasus yang sedang ditangani.
“Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja,” ungkapnya.
Bahkan, kata Sudjito, para hakim yang entah tidak berani atau tidak mau untuk sampai pada hakekat keadilan yang bersifat progress. “Dengan begitu, maka keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal. Keadilan yang hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. Itu saja,” paparnya.
Dengan demikian, sambungnya, dapat dikatakan bahwa sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum benar-benar terwujud dengan baik, dan keadilan di Indonesia hanyalah bersifat formalitas atau simbolik semata.
“Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya aja, tapi UU kayak apa? Itulah pertanyaannya. Nah, corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/25/26308-keadilan-di-indonesia-baru-sebatas-formalitas.html#sthash.qJDYNsGr.dpuf
Akhir-akhir
ini lembaga peradilan Indonesia mendapat sorotan besar dari berbagai
kalangan. Pasalnya, lembaga peradilan yang seharusnya mampu mewujudkan
rasa adil bagi seluruh masyarakat, justru tidak jarang hanya tajam ke
bawah, namun tumpul saat mengarah ke kasus-kasus yang melibatkan
penguasa.
Menanggapi fenomena tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito menuturkan, seharusnya aparat penegak hukum mampu menelaah dan memahami secara utuh arti dari keadilan itu sendiri, sebagai suatu modal untuk dapat mewujudkan peradilan terhadap semua pihak.
“Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan dia pegang,” kata Sudjito dalam acara workshop dengan tema ‘Mendorong Keterbukaan Pengambilan Putusan di MA’, yang digelar di Hotel Aston, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (24/1/2013) kemarin seperti dilansir okezone.com.
Dia menambahkan, proses yang berjalan di lembaga peradilan Indonesia saat ini cenderung dilakukan hanya dengan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang di permukaan saja, bukan sepenuhnya memahami inti dari kasus yang sedang ditangani.
“Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja,” ungkapnya.
Bahkan, kata Sudjito, para hakim yang entah tidak berani atau tidak mau untuk sampai pada hakekat keadilan yang bersifat progress. “Dengan begitu, maka keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal. Keadilan yang hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. Itu saja,” paparnya.
Dengan demikian, sambungnya, dapat dikatakan bahwa sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum benar-benar terwujud dengan baik, dan keadilan di Indonesia hanyalah bersifat formalitas atau simbolik semata.
“Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya aja, tapi UU kayak apa? Itulah pertanyaannya. Nah, corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/25/26308-keadilan-di-indonesia-baru-sebatas-formalitas.html#sthash.qJDYNsGr.dpuf
Menanggapi fenomena tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito menuturkan, seharusnya aparat penegak hukum mampu menelaah dan memahami secara utuh arti dari keadilan itu sendiri, sebagai suatu modal untuk dapat mewujudkan peradilan terhadap semua pihak.
“Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan dia pegang,” kata Sudjito dalam acara workshop dengan tema ‘Mendorong Keterbukaan Pengambilan Putusan di MA’, yang digelar di Hotel Aston, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (24/1/2013) kemarin seperti dilansir okezone.com.
Dia menambahkan, proses yang berjalan di lembaga peradilan Indonesia saat ini cenderung dilakukan hanya dengan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang di permukaan saja, bukan sepenuhnya memahami inti dari kasus yang sedang ditangani.
“Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja,” ungkapnya.
Bahkan, kata Sudjito, para hakim yang entah tidak berani atau tidak mau untuk sampai pada hakekat keadilan yang bersifat progress. “Dengan begitu, maka keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal. Keadilan yang hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. Itu saja,” paparnya.
Dengan demikian, sambungnya, dapat dikatakan bahwa sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum benar-benar terwujud dengan baik, dan keadilan di Indonesia hanyalah bersifat formalitas atau simbolik semata.
“Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya aja, tapi UU kayak apa? Itulah pertanyaannya. Nah, corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/25/26308-keadilan-di-indonesia-baru-sebatas-formalitas.html#sthash.qJDYNsGr.dpuf
Akhir-akhir
ini lembaga peradilan Indonesia mendapat sorotan besar dari berbagai
kalangan. Pasalnya, lembaga peradilan yang seharusnya mampu mewujudkan
rasa adil bagi seluruh masyarakat, justru tidak jarang hanya tajam ke
bawah, namun tumpul saat mengarah ke kasus-kasus yang melibatkan
penguasa.
Menanggapi fenomena tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito menuturkan, seharusnya aparat penegak hukum mampu menelaah dan memahami secara utuh arti dari keadilan itu sendiri, sebagai suatu modal untuk dapat mewujudkan peradilan terhadap semua pihak.
“Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan dia pegang,” kata Sudjito dalam acara workshop dengan tema ‘Mendorong Keterbukaan Pengambilan Putusan di MA’, yang digelar di Hotel Aston, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (24/1/2013) kemarin seperti dilansir okezone.com.
Dia menambahkan, proses yang berjalan di lembaga peradilan Indonesia saat ini cenderung dilakukan hanya dengan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang di permukaan saja, bukan sepenuhnya memahami inti dari kasus yang sedang ditangani.
“Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja,” ungkapnya.
Bahkan, kata Sudjito, para hakim yang entah tidak berani atau tidak mau untuk sampai pada hakekat keadilan yang bersifat progress. “Dengan begitu, maka keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal. Keadilan yang hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. Itu saja,” paparnya.
Dengan demikian, sambungnya, dapat dikatakan bahwa sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum benar-benar terwujud dengan baik, dan keadilan di Indonesia hanyalah bersifat formalitas atau simbolik semata.
“Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya aja, tapi UU kayak apa? Itulah pertanyaannya. Nah, corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/25/26308-keadilan-di-indonesia-baru-sebatas-formalitas.html#sthash.qJDYNsGr.dpuf
Menanggapi fenomena tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito menuturkan, seharusnya aparat penegak hukum mampu menelaah dan memahami secara utuh arti dari keadilan itu sendiri, sebagai suatu modal untuk dapat mewujudkan peradilan terhadap semua pihak.
“Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan dia pegang,” kata Sudjito dalam acara workshop dengan tema ‘Mendorong Keterbukaan Pengambilan Putusan di MA’, yang digelar di Hotel Aston, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (24/1/2013) kemarin seperti dilansir okezone.com.
Dia menambahkan, proses yang berjalan di lembaga peradilan Indonesia saat ini cenderung dilakukan hanya dengan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang di permukaan saja, bukan sepenuhnya memahami inti dari kasus yang sedang ditangani.
“Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja,” ungkapnya.
Bahkan, kata Sudjito, para hakim yang entah tidak berani atau tidak mau untuk sampai pada hakekat keadilan yang bersifat progress. “Dengan begitu, maka keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal. Keadilan yang hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. Itu saja,” paparnya.
Dengan demikian, sambungnya, dapat dikatakan bahwa sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum benar-benar terwujud dengan baik, dan keadilan di Indonesia hanyalah bersifat formalitas atau simbolik semata.
“Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya aja, tapi UU kayak apa? Itulah pertanyaannya. Nah, corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/25/26308-keadilan-di-indonesia-baru-sebatas-formalitas.html#sthash.qJDYNsGr.dpuf
Bismillah...Alhamdulillah , terimakasih sekali kak Ratih ...pencerahannya mengenai keadilan ini sudahkah terwujud :)
BalasHapus