Senin, 24 Juni 2013

Cinta dalam Secangkir Kopi






Aku menyeruput kopi tubruk favoritku. Dengan panas yang sedang aku menikmati rasanya yang pahit sedikit manis. Menyesapi harumnya yang menggelitik hidung ini, membawa candu untuk tetap mengirupnya.

Rintik hujan di luar sana masih terdengar sangat jelas. Bau harum tanah menyeruak memaksaku membagi harum kopi ini di pagi yang gerimis. Jalanan di hadapanku tampak sepi. Hanya ada beberapa pejalan kaki denga suara ceplak telapak kakinya yang terdengar jelas. Dengan berlindung di bawah payung mereka tetap berjalan.

“Tumben sepi ya Pak.” Aku membuka suara, mengajak berbincang Pak Anwar pemilik kedai kopi langgananku.

“Ini kan hari Minggu Neng mungkin manusia-manusia itu masih terbuai dalam mimpi masing-masing.” Pak Anwar menjawab pertanyaanku seraya menata apik kedainya. Memang sepagi ini kedai baru dibuka sehingga Pak Anwar masih sibuk menata dagangannya.

Senin, 10 Juni 2013

CLOUD


Mengagumi seseorang itu menyenangkan tetapi sakit. Sama seperti aku yang mengaguminya. Mengagumi seseorang yang aku tak mengerti.

Tak tahu sejak kapan aku memulainya. Aku hanya merasa tiba-tiba rasa rindu ingin melihat sosoknya setiap saat datang. Merasa tiba-tiba dia hadir dalam mimpiku.
Sejak saat itu datang, hari-hari yang kujalani tak lagi seperti dulu. Hati ini tiba-tiba saja tanpa aku mengerti berdebar kencang tak terkendali. Terlebih ketika aku berada didekatnya.

Kawanku berkata, “Mungkin kamu menyukainya!”
Ah apa pula itu, tak mungkin bukan? Dia hanya seorang laki-laki yang berpikiran dewasa dan baik hati. Dari mana mereka biasa menyimpulkan semua itu.

Hari demi hari aku mencoba membiasakan diri dengan perasaanku itu. Membiasakan diri ketika berada di dekatnya. Bahkan hanya ketika kami saling berpapasan.

Seperti awan di langit aku berharap tentang perasaanku ini. Seperti berbagai bentuk awan yang tiba-tiba berubah, seperti itulah aku berharap tentang perasaan. Tentang perasaanku yang juga dapat berubah ketika aku sadar bahwa memang ini yang dinamakan cinta. Aku tak ingin seperti pagar makan tanaman. Karena itu sekuat tenaga aku ingin menghapus semua perasaan ini.

Ketika rasa itu tertanam semakin dalam, tiba-tiba seseorang datang. Seperti hadiah yang diberikan Tuhan. Aku mengenalnya, bahkan sangat mengenalnya. Namun aku tak bia memungkiri diriku bahwa aku tidak bisa menerimanya. Bahwa sudah ada seseorang di hati ini. Awan telah memilih hujannya sendiri. Hujan yang menyirami hatiku. Membuat bunga-bunga tetap bermekaran.

Maafkan aku yang tidak bias memilihmu. Kamu orang yang baik dan aku yakin. Suatu saat Tuhan akan memberikan hadiah indah untukmu kawan. Bukankah akan lebih sakit jika aku membohongimu? Semoga kenyataan yang dilandasi kejujuran lebih baik, walaupun itu sakit.

Dan akhirnya aku masih di sini. Berusaha menelusuri dan memahami lekuk ranting pohon itu. Selalu menunggu di bawah kerindangannya. Menunggu hingga sang pohon menggugurkan daunnya. Walaupun itu berjuta-juta kali aku menunggu.

Biarlah perasaanku yang memutuskan. Untuk tetap berlanjut menunggu atau pergi. Karena pada hakikatnya yang aku inginkan adalah kenyamanan hati. Bukan sekedar pandangan belaka.