Senin, 24 Juni 2013

Cinta dalam Secangkir Kopi






Aku menyeruput kopi tubruk favoritku. Dengan panas yang sedang aku menikmati rasanya yang pahit sedikit manis. Menyesapi harumnya yang menggelitik hidung ini, membawa candu untuk tetap mengirupnya.

Rintik hujan di luar sana masih terdengar sangat jelas. Bau harum tanah menyeruak memaksaku membagi harum kopi ini di pagi yang gerimis. Jalanan di hadapanku tampak sepi. Hanya ada beberapa pejalan kaki denga suara ceplak telapak kakinya yang terdengar jelas. Dengan berlindung di bawah payung mereka tetap berjalan.

“Tumben sepi ya Pak.” Aku membuka suara, mengajak berbincang Pak Anwar pemilik kedai kopi langgananku.

“Ini kan hari Minggu Neng mungkin manusia-manusia itu masih terbuai dalam mimpi masing-masing.” Pak Anwar menjawab pertanyaanku seraya menata apik kedainya. Memang sepagi ini kedai baru dibuka sehingga Pak Anwar masih sibuk menata dagangannya.

‘Ah iya aku lupa ini hari Minggu.’ Beginilah hari-hari seorang manusia yang masih sendiri. Bahkan hari apa pun saat itu bisa lupa.

Aku menyeruput kopi tubruk itu untuk kedua kalinya. Menyesapi kembali harumnya yang menggoda.

“Pak kopinya satu.” Aku menoleh sedikit ke arah suara tersebut, seorang lelaki bertubuh tinggi dengan wajah teduh yang baru saja memesan kopi.

“Manis atau pahit Kang?” Tanya Pak Anwar.

“Manis saja Pak.”

Setelah itu aku kembali menatap buku agendaku, memastikan jadwalku hari ini dan esok yang hanya tergores beberapa janji dengan teman, deadline dan beberapa dosen di kampus.

“Hei, suka kopi tubruk juga?” Mendengar seseorang memanggilku aku mengadahkan kepalaku, menatap si lelaki pemesan kopi tersebut.

“Ya.” Jawabku singkat.

“Tak biasanya seorang wanita menyukai kopi tubruk.”

“Benarkah?”

“Ya, kebanyakan wanita menyukai kopi cappuccino dengan creamer dan tambahan rasa lain.” Jawabnya penuh percaya diri.

“Untungnya aku tidak. Kau juga suka kopi tubruk?”

“Ya, karena kopi tubruk itu mewakili kehidupan ini. Dengan rasanya yang pahit namun sedikit manis dengan tambahan gula. Harumnya yang menggoda membuat kita merasakan candunya.”

“Dan butiran kopi yang masih tersisa dalam gelas ketika kita sudah selesai menikmatinya.” Tiba-tiba saja aku menambahkan argumennya.

“Seperti hidup yang tak selalu manis, namun akan terasa manis bila kita sedikit membubuhinya dengan bersyukur dan ikhlas. Membuat kita ingin kembali merasakan berbagai tantangan dalam hidup walau rasanya pahit.”

“Dan selalu meninggalkan kenangan unik tersendiri.” Kemabali tanpa aku sadari aku masuk ke dalam argumennya.

“Manandakan bahwa penyuka kopi tubruk seorang yang sederhana, tak peduli penampilan, kuat walau sedikit kasar. Tetapi selalu membuat kecanduan semua penikmat rasanya.”  Jelasnya dengan senyum merekah.

“Penulis?” Tanyaku pada lelaki itu.

“Tidak, hanya sesekali menulis.” Jawabnya dengan tenang sambil mempertahankan senyum yang menimbulkan kesan ramah dirinya.

“Oh…” Aku hanya menjawab singkat dan kembali menyeruput kopiku.

“Leo…” Lelaki itu menjulurkan tangannya. Memperkenalkan dirinya tanpa aku minta.

“Tirana…” Jawabku singkat dan membalas uluran tangannya sebelum akhirnya tersenyum. Menandakan 
bahwa aku menerima dirinya.

“Ini Kang kopinya..” Pak Anwar menyugguhkan kopi pesanan Leo.

“Oh iya Pak, terimakasih.”

“Sepertinya aku akan lebih sering menimati kopi di sini.” Ucapnya sambil tersenyum sekilas ke arahku dan 
kemudian larut dalam kenikmatan secangkir kopi tubruk.

‘Sepertinya aku menyukai lelaki ini’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar