FOTO FIKSI "SEPOTONG KISAH DI PINGGIR JALAN"
“Uweeee
.. ibu ..” Aku mendengar seorang anak kecil menangis. Dia berdiri sambil
menangis dan memanggil-manggil ibunya. Meski banyak orang yang lalu lalang di pinggir
jalan ini, namun tak seorang pun menghiraukan tangisan anak itu.
Suaranya yang nyaring bahkan tak mampu memecah kesunyian di antara ramainya
deru kendaraan di tengah teriknya mentari yang bersinar. Tangisan yang
terdengar memilukan bagi siapa saja yang mendengarnya. Henya ada beberapa orang
yang sekedar melihat, lalu pergi kembali melanjutkan acaranya berjalan kaki ke
tempat tujuan mereka.
Sejenak aku teringat pada ibuku. Ibu yang bahkan tak pernah aku rasakan
kehadirannya. Ibu yang selalu kurindukan. Merindukan tatapan matanya yang
menyiratkan kasih sayang. Ibu yang harus pergi saat aku merasakan dunia ini
untuk pertama kalinya.
Aku masih ingat kala itu. Ketika umurku 2 tahun, aku mulai menanyakan
keberadaan ibuku. Seorang wanita yang selalu hadir, menemani, mengurus, dan
menjadi penenangku ketika sedih. Sempat aku bertanya pada ayah kala itu.
“Ayah, ibu mana? Ayah bilang ibu pergi ke tempat yang jauh, tapi kenapa ibu tak
kunjung pulang?”
“Ibu sedang pergi jauh Fitri, kamu akan bertemu Ibu suatu saat nanti. Ketika
kamu juga pergi menyusul ibu, kita akan berkumpul lagi.” Jelas ayah sambil
tersenyum, namun dapat kulihat ayah meneteskan air matanya, namun segera
menghapusnya kembali. Aku yang ketika itu tak mengerti apa yang ayah ucapkan
hanya diam.
“Tapi kapan kita bisa menyusul ibu yah? Kenapa tidak ibu saja yang datang
kemari? Atau jangan-jangan Fitri tak punya ibu?”
“Kamu bicara apa nak? Fitri punya ibu! Ibu yang cantik, baik, dan juga
penyabar. Apa Fitri benar-benar merindukan ibu?” Tanya ayah sambil berusaha
mensejajarkan tubuhnya denganku.
Aku hanya menganggukan kepala sendu. Pastilah semua anak merindukan ibunya, ibu
yang bahkan belum pernah membawa sang anak ke dalam dekapan hangatnya. Yang tak
penah menimang anak yang dilahirkannya dengan penuh peluh dan perjuangan.
Ayah hanya memelukku erat seraya berkata, “Fitri pasti akan bertemu ibu suatu
saat nanti, walau itu hanya dalam bunga tidur. Ayah akan utarakan semuanya, di
saat umurmu sudah siapa nak!” Ucap ayah sedikit berbisik sambil terus memelukku
erat.
Walau ayah selalu berkata begitu, namun aku tetap ingin punya seorang ibu yang
nyata. Yang tidak ayah janjikan datang, tapi juga benar-benar hadir dalam
hidupku. Kadang aku sering menagis, melihat mereka yang memiliki ibu. Yang bisa
merasakan indahnya kasih sayang seorang ibu. Aku terus bersabar, hingga
akhirnya aku tahu yang sebenarnya bahwa ibuku sudah pergi untuk selama-lamanya.
Awalnya aku tak bisa menerima ini. Aku berfikir bahwa aku tak bisa hidup tanpa
seorang ibu. Namun akhirnya aku mengikhlaskannya. Justru harusnya aku
berterimakasih karena seorang wanita yang mulia dan sangat berharga dalam
hidupku telah mengorbankan nyawanya untuk seorang anak sepertiku. Bukankah
hanya dusta bahwa aku tak dapat hidup tanpa seorang ibu?
Aku sadar bahwa sampai saat umurku 6 tahun dan akhirnya mengerti semua yang
ayah maksud, aku hidup tanpa ibu. 6 tahun aku hanya hidup dengan seorang ayah
dan nenek yang sangat menyayangiku.
Yang aku butuhkan hanya kekuatan untuk menghadapi jeruji kehidupan masa
depanku. Kekuatan untuk menghadapi semua badai yang akan terus berputar-putar
dalam lautan realita kehidupan. Semangat yang besar dan kuat yang kini harus
aku siapkan. Untuk membuat layar perahuku terkembang sempurna.
****
Perlahan kuhampiri anak itu. Namun dari jauh kulihat seorang wanita paruh baya
berambut panjang dengan tinggi yang semampai menghampiri anak itu, kemudian
membawa ke dalam dekapan hangat seorang ibu. Wajahnya yang menyiratkan semburat
kehawatiran itu sedikit tersenyum.
“Jangan menagis sayang .. ibu di sini! Ibu akan selalu di sampingmu.” Ucap
wanita itu yang masih bisa kudengar.Dia
melanjutkan jalannya sembari menghapus air mata dan menenangkan tangis buah
hati yang kini dalam dekapannya itu.
“Beruntungnya anak itu..”
Hanya kalimat itu yang dapat kuucapkan. Seandainya aku bisa seperti anak kecil
itu. Merasakan kasih sayang seorang ibu yang berjuang demi seseorang yang
sangat dia tunggu, demi buah hatinya tercinta. Aku membayangkan betapa
cantiknya wajah ibuku, seperti wanita itu. Wajah yang hanya bisa kulihat lewat
sebuah foto usang.
“Fitri ...” Seseorang menepuk bahuku pelan, menyadarkanku dari semua lamunan
itu. Ah iya, aku lupa saat ini aku harus pergi ke kampus.
Aku hanya menyaksikan dua sosok yang membuatku kembali bersyukur bahwa aku juga
mempunyai seorang ibu yang benar-benar menyayangiku. Dan membuat aku bangga
pada seorang ayah yang benar-benar sosok teladan dalam hidupku.
Aku yang awalnya hanya mengutuki takdir Tuhan untukku, kini sadar bahwa semua
rencananya adalah baik. Walau rindu selalu menerangi kalbu, namun aku yakin
rindu ini akan padam dan menjadi sinar yang sangat cerah pada waktunya.
Dua sosok itu terus menjauh dan menjauh. Hanya tatapan nanar yang bisa
kuberikan. Dan tak lama aku juga pergi meninggalkan sepotong kisah itu.
created by :
Ratih Windu Arini
semangat arin :)
BalasHapus