Selasa, 31 Maret 2015

The power of politics

     
     
      Politik banyak menjadi perbincangan di semua tempat oleh berbagai macam kalangan. Cobalah bepergian dengan kendaraan umum, atau berdiam di tempat umum, atau bahkan ketika berkumpul dengan teman, maka hampir semua tempat itu membicarakan politik. Bahasannya macam-macam, bisa keluhan tentang kinerja pemerintah dan presiden dalam suatu bidang atau bahkan terkadang di semua bidang, kemudian saling berlomba beradu argumen mengenai bagaimana seharusnya sang subjek bertindak mengenai politik yang di bahas.
      Ketika politikus mendengar argumen mereka pastilah politikus itu berfikir berbeda dengan dalih kita tidak mengerti politiklah atau apalah. Namun pendapat ini sepenuhnya tidak salah, karena solusi kebanyakan dari masyarakat tak kalah baik dan bahkan sangat baik. Mereka hanya berpendapat dari kacamata mereka. namun satu yang sangat disayangkan. Mereka tidak berpikir bagaimana mereka harus turut berperanmemperbaiki politik yang sudah semerawut.
      Ketika diajukan pertanyaan pada beberapa mahasiswa mengenai kinerja pemerintah saat ini, kebanyakan dari mereka menggelengkan kepal dahulu sebelum memberikan pendapat. "Sekarang politik sudah sangat hancur Mbak. Para petinggi hanya berpikir bagaimana mendapat banyak uang, mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari jabatan yang diembannya." Ujar Retno, salah satu mahasiswa Universitas Gunadarma yang saat ini berkuliah di jurusan Teknik Industri. tak hanya itu, mahasiswa lain jug berpendapat, "Kepentingan politik di Indonesia membuat banyak bidang dirugikn. Lihat aja pendidikan di Indonesia sekarang. Selain masih sangat mahal, kualitasnya pun sangat tak sebanding. Bahkan saudara kita di perbatasan sana belum tentu bisa mengenyam penddikan. Namun mana peran pemerintah? Mereka hanya berorientasi pada uang, uang, dan uang." Ujar Titin, mahasiswa Universitas Gunadarma yang saat ini aktif berkuliah di jurusan Teknik Industri.
      Begitulah kiranya the power of politics. Ketika politik berkaitan dengan semua aspek namun tak lagi mengenal yang mana kawan, saudara, dan lawan. Ketika rakyat tak lagi berarti untuk politik negeri. Ketika kepentingan individu menjadi prioritas dalam politik.
      Hampir setiap orang di negeri ini akan berbicara hal yang negatif, bersifat mengkritik, dan memberi saran bagaimana seharusnya mengambil sikap. Sisi baik yang adaa dalam politik sirna sudah tertutup oleh fakta yang masyarakat dapatkan.


Minggu, 08 Maret 2015

Gebang Sekolah (Potongan Sungai Impian ke 1)

       Aku datang lagi setelah tersadar dalam keterpurukan panjang. Kini aku hadir lagi, mengabsen goresan tanganku pada sejarah. Aku tak tahu bagaimana bisa aku melupakan hal sepenting "menulis", entahlah, semua seperti terjadi begitu saja. Ternyata memang benar waktu berjalan sangat cepat. Letak kebodohannya adalah aku yang tak berpikir untuk bergerak. Hanya terus diam memandang mimpi yang kugantung bersama bintang setiap malamnya. 
       Untuk orang yang pernah kuberikan kesediaan menuliskan kisahmu, dengan setulus hati aku meminta maaf. Maaf karena sampai saat ini aku bahkan belum melanjutkan menulis kata-kata terhitung saat terakhir kali aku menulis kisahmu. aku akan mulai melangkah dan berlari, jadi kumohon bersabarlah sebentar lagi.

       Kisah ini tentang perjalan menuju impian. perahu yang mengarungi sungai panjang tanpa tahu apan akan berakhir.

       Sama seperti manusia pada umumnya, yang lahir sambil menangis. Yang setelahnya terus berkembang mulai bisa melakukan banyak hal. Berjalan, berbicara, menghapal banyak kosakata baru, lalu bersekolah untuk lebih mengenal dunia. Dimulai dari sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. dari semua fase itu kini aku berada pada fase perguruan tinggi. Ya, pergi belajar menuntut ilmu di perguruan tinggi. Dari semua fase yang sudah aku lewati, kurasa fase sekolah menengah akhir adalah fase dengan begitu banyak perasaan yang tertulis menjadi sebuah kenangan terjadi di hati ini. Di mana beragam kisah dan hal yang baru kutemukan di sini.

       Tiga tahun yang lalu aku berdiri di depan gerbang itu. Gerbang yang akan menjadi tempatku menuntut ilmu di jenjang sekolah menengah akhir. Dengan masih menggunakan seragam sekolah menengah pertama aku memasuki sekolah itu dengan perasaan berdebar menantikan pengumuman penerimaan siswa baru. Mungkin kau tak  tahu betapa gugupnya aku. Sejak pagi aku bersama temanku yang mendaftar sekolah yang sama sudah menuju ruang guru untuk  bertanya perihal penerimaan siswa baru bahkan ketika ternyata guru yang menangani siswa yang ingin melanjutkan sekolah itu belum datang.

       Tak sabar menunggu aku dan temanku bergegas menuju warnet terdekaT sekolah kami. Pada pagi yang segar di pertengahan tahun 2011 itu dengan penuh semangat aku dan seorang temanku membelah jalanan kotaku, kota kecil di pinggiran pulau Jawa, bersemangat melihat hasil pengumuman. Aku dengar sekolah yang aku tuju memiliki teknologi dan pendidikan yang cukup lebih maju dibanding sekolah lainnya di tempatku, bahkan saat itu kudengar pengumuman mahasiswa baru pun bisa dilihat lewat internet.

      Tak menemukan apa yang kami cari, kami kembali menuju sekolah melihat kembali ke ruang guru apakah guru yang kami cari sudah datang. Setelah kembali, ternyata pengumuman akan diumumkan di sekolah yang kami tuju menjelang tengah hari nanti. Saat itu rasanya waktu berjalan sangat lambat, bahkan lebih lambat dari seekor siput yang tengah berjalan. Di sanalah aku berdiri. Di depan gerbang sekolah menengah akhir yang kutuju. 

       Saat itu sudah tampak banyak siswa setingkatku yang mengerumuni papan pengumuman. Kulihat diantaranya berteriak girang sambil terus mengucapkan rasa syukur, namun ada pula yang terlihat menangis dalam rengkuhan kawanya. Dengan perlahan aku masuk ke dalam kerumunan manusia itu, mencari kalau-kalau Tuhan mengizinkan namaku ada di sana.

       "Alhamdulillah". Puji syukur kuucapkan ketika tahu bahwa aku menjadi salah satu siwa baru di sekolah tersebut. Seketika hilang sudah rasa yang sejak tadi aku tahan dikala melihat anak-anak lain dengan seragam elitnya. Ya, mereka semua kebanyakan datang dari sekolah favorit di kotaku. Tak disangka siswa dari sekolah biasa sepertiku bisa turut menjadi bagian dari keluarga besar sekolah itu. Saat itu dengan perasaan bahagia aku pulang membawa berita gembira untuk Ayah dan Ibu.

      Itu menjadi titik awal di mana hidupku yang sesungguhnya dimulai. Bagaimana rasanya berdiri diantara orang-orang cerdas, kini aku tahu rasanya. Melangkah di atas tanah di lingkungan yang diperjuangkan hampir seluruh siswa di kotaku, aku tahu rasanya. Hari itu di tengah panasnya terik mataahari yang menyinari kotaku yang memang sudah panas karena terletak di daerah pantai, aku bersama siswa baru lainnya melangsungkan Apel penutupan hari pertama Masa Orientasi kami. saat itu aku benar-benar berada di tengah orang-orang baru karena hanya kira-kira sebelas orang saja yang berasal dari sekolahku, tidak seperti anak lainnya yang bahkan seperti pindah kelas saja. Saat itu aku berdejavu, merasakan kembali bagaimana rasanya menjadi murid baru seperti saat pertengahan sekolah menegah pertama, saat aku menjadi murid baru. Beberapa diantara siswa dari sekolah menengah pertama memang teman sekolah dasarku, namun seperti layaknya pergi jauh dan datang lagi ke tempat yang sama berpuluh-puluh tahun kemudian, pastilah terasa asing. Seperti itulah aku dan teman-teman masa sekolah dasarku.

       Aku tak tahu setelah ini apa yang akan terjadi. akan jadi apa nanti aku di sekolah ini. Bagaimana masa depanku. Semua dimulai saat itu. Hari dimana masa penuh gejolakku di mulai. Masa yang menunjukkan padaku banyak rasa bahagia, sedih, dan juga rasa sakit.Masa yang mengenalkanku den mimpi dan cinta, juga rasa sakitnya.




"Ternyata mereka memang berkata jujur bahwa SMA adalah masa terindah dan tak terlupakan. aku sudah membuktikannya dan aku mempercayainya."

Jumat, 06 Maret 2015

Prinsip



Ditengah kompetitifnya dunia dengan berbagai macam tekanannya, di sana aku masih menemukan kesederhanaan. Kesederhaan mimpi, ambisi, dan hidup. Ya, kesederhanaan itu ada di negeriku.



Ketika hampir semua anak berlomba untuk mendapat pendidikan dan menjadi yang terbaik dalam jenjangnya, berlomba untuk mengukir prestasi setinggi-tingginya, bahkan berlomba untuk masuk ke perguruan tinggi bergengsi yang sebagian besar tujuannya adalah demi mendapat pekerjaan berpenghasilan tinggi di masa depan. Namun anak-anak desa yang aku kenal masih berpikiran bersih, mengikuti  kata hati mereka. 

Mereka hanya ingin bersekolah agar mereka berpendidikan dan berwawasan luas, setidaknya lebih dari pada kedua orang tua mereka yang kebanyakan hanya tahu sawah dan lading. Ironis? Memang sedikit terdengar seperti itu. Tapi tahukah kawan? Tujuan hidup mereka sungguh sederhana.



Ketika kebanyakan masyarakat kota saai ini ingin berkarir setinggi-tingginya bahkan berusaha keras agarkarirnya menyentuh dunia internasional, mereka yang berasal dari desa akan pergi ke kota mencari kerja hanya untuk kebutuhan sehari-hari, pendidikan anak di masa depan, dan membeli sebidang tanah yang bisa dipergunakan untuk bertani dan berladang dikala senja nanti.

Setelah lunas menyelesaikan beban pekerjaan yang diemban, di usia senja mereka akan kembali ke desa tempat mereka dilahirkan. Berladang dan bertani. Hidup sederhana dengan udara segar yang bisa dihirup setiap pagi. Air yang sejuk yang dinikmati setiap saat. Menghabiskan masa senja dengan tenang dan damai untuk beribadah.

Jadi untuk kawanku yang memiliki banyak rencana luaar biasa, marilah belajar bersyukur dari orang desa. Untuk kawanku yang selalu mendambakan kemewahan marilah belajar sederhana dari orang desa. Untuk kawanku yang mengharapkan kekayaan di masa tua, marilah belajar mengabdikan akhir usia untuk Tuhan yang telah memberikan segalanya.


Yang terpenting dari semua hal adaalah prinsip hidup. Tanpa prinsip kita hanyalah nahkoda yang tak bisa mengendalikan kapal, terombang-ambing entah sampai kapan. Mungkin sampai karam dan tenggelam.