Rabu, 14 Oktober 2015

Masihkah ada?

Kota, sebuah tempat di mana berbagai hal berkembang, dibahas, dan terus berinovasi. Di mana semua jenis manusia dimuka bumi ini bertemu. Masyarakat kota atau yang sering disebut urban community tidak hanya memiliki perhatian khusus pada pakaian, makanan, dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian lebih luas lagi. Orang kota sudah memandang penggunaan hidup, tidak hanya sekadarnya atau apa adanya, atau yang dalam bahasa mudahnya disebut gengsi.

Masyarakat kota terkenal dengan masyarakatnya yang individualis. Ini terjadi karena mobilitas masyarakat kota sangat tinggi dan juga karena masyarakat kota sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dengan kemajuan teknologi. Seperti contohnya kini untuk mencuci masyarakat kota tak lagi membutuhkan manusia untuk membantu pekerjaannya tersebut, cukup dengan mesin cuci maka semua pakaian kotor akan dicuci oleh mesin. Kita hanya perlu menunggu beberapa menit. Bahkan jeda waktu menunggu itu pun bisa digunakan untuk melakukan hal lain.

Karena sifat individualis itulah maka masyarakat kota memiliki solidaritas sosial yang sangat rendah. Tak peduli dengan sekitar. Hubungan yang dijalin terhadap sesama manusia bukan lagi merupakan kebutuhan sosial, tetapi bergeser kepada suatu kepentingan. Singkatnya masyarakat kota akan menjalin hubungan apabila hubungan tersebut membawa keuntungan bagi dirinya. Maka tak heran mereka memiliki solidaritas sosial yang sangat rendah. Siapa yang mau repot-repot menolong seorang nenek yang kelelahan membawa tas yang sangat berat di stasiun. Apa yang akan mereka dapatkan jika menolong nenek itu? Mereka justru akan kehilangan waktu untuk menuju kantor. Siapa yang mau repot-repot menyisihkan waktunya membantu seorang kakek yang terjatuh di peron stasiun karena bingung melihat begitu banyaknya manusia yang berjalan sangat cepat, mengejar kereta yang akan berangkat? Mereka justru akan kehilangan uang. Krena keterlambatan mereka sampai di tempat kerja berbuntut potong gaji.

Ironis? Memang seperti itulah masyarakat kota yang katanya berpendidikan tinggi dan berpikiran maju. Yang katanya turut ambil memajukan perekonomian Indonesia. Dalam kasus tersebut saja tak ada masyarakat kota yang peduli, apa lagi pada masyarakat miskin yang begitu banyak bertebaran di seluruh penjuru kota. Kepada pemulung yang ditemuinya di pinggir jalan hanya diberinya tatapan meremehkan atau bahkan menghina, memang ada yang menatap kasihan, tapi hanya sekedar tatapan. Tak ada yang menanyakan sudahkah ia makan, lebih baik mengajaknya makan walau hanya di warteg pinggir jalan, atau bahkan hanya sekedar memberinya senyuman. Bukankah agama mengajarkan bahwa senyum adalah sedekah?

Mobilitas masyarakat perkotaan yang begitu tinggi membuat mereka terburu-buru, menunda waktu sholat untuk yang muslim, atau malah justru meinggalkannya. Kalaupun menunaikan sholat, hanya sekedar menunaikan kewajiban. Membasahi beberapa bagian tubuh dengan air, lalu melakukan gerakan-gerakan dengan sangat cepat, dan berlalu tanpa mengadahkan tagan terlebih dahulu. Lupa untuk berdo’a, meminta kepada yang memberikan hidup sampai saat ini. Apa lagi untuk melaksanakan qiyamul lail? Puasa sunnah? Shodaqoh? Mereka lupa bahwa mereka hidup hanya sementara. Pertanggungjawaban atas pekerjaan dan mencari nafkah tidak akan membantu proses hisab diakhirat nanti. Itupun kalau mereka jujur bekerja, kalau korupsi?

Polemik kehidupan di kota merupakan masalah yang tak kunjug meiliki titik terang. Tak hanya pribadi masyarakatya, tapi juga masalah lain yang mengguung mennunggu untuk diselesaikan. Perkembangan industry diperkotaan sejalan dengan mobilitas masyarakatnya dan sejalan dengan tingkat kejahatannya apabila kota tidak diatasi secara benar.

Namun dari semua itu sungguh masihkah ada orang baik yang menginspirasi, masih ada orang-orng tulus yang mau mebantu, dan orang berani yang mau mengabdi?


Referensi: 

1. Sumardjo Jakob. Orang Baik Sulit Dicari. 1997. Bandung : Penerbit ITB Bandung

2. Drs. Ahmadi Abu. Ilmu Sosial Dasar. 2009. Jakarta : Rineka Cipta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar