Rabu, 14 Oktober 2015

Sarjana Sia-Sia itu Harta Milik Indonesia

Dewasa ini kesadaran masyarakat terhadap pendidikan semakin meningkat. Terbukti dengan banyaknya sarjana dan semakin menjamurnya sekolah-sekolah, baik tingkat SD, SMP, ataupun SMA dan SMK. Dari negeri sampai swasta. Dari nasional sampai internasional.

Indonesia saat ini memang memiliki pemuda atau usia produktif lebih banyak dibanding golongan lanjut usia dan anak-anak. Hal ini harusnya menjadi kesempatan besar bagi Indonesia untu semakin berkembang. Karena banyaknya pemuda usia produktif berarti kesempatan untuk berkembang semakin banyak dan sangat terbuka lebar. Apabila Indonesia jeli dan mulai menjalankan rencana yang matang dengan sedikit kesabaran, maka sepuluh atau dua puluh tahun lagi Indonesia akan berdiri di atas Jepang dan Amerika. Tidak mungkin? Memang terdengar naïf. Namun kenapa tidak?

Indonesia memiliki semua syarat yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah Negara maju. Namun keseriusan pemerintah yang kurang dalam menangani hal tersebut menyebabkan Indonesia masih merangkak dan bahkan berjalan di tempat. Indonesia butuh revolusi industry besar-besaran. Bukan sistem industry dan pendidikan yang seperti Jepang, Amerika, dan Finlandia, tapi industry dan pendidikan yang Indonesia.

Jika Jepang terkenal dengan teori industry kura-kuranya yang terbukti sangat sukses, Amerika yang terkenal dengan teori industry kelincinya yang sudah ampuh menguasai dunia industry sebelum Jepang muncul, atau Korea yang sedang gencar-gencarnya memajukan industrinya dengan sentuhan kebudayaannya, maka Indonesia perlu menciptakan sebuah sistem industry yang sangat Indonesia. Bukan, kura-kura, kelinci atau yang lainnya. Tak hanya dalam bidang industry, revolusi juga perlu dilakuakn di bidang pedidikan. Kenapa disebut revolusi? Karena perubahan untuk menjadi kuat dan bertahan memerlukan waktu lama, bukan satu tahun atau dua tahun, tapi puluhan tahun. Karena itu dibutuhkan kesabaran dan komitmen yang tinggi untuk mewujdkan Negara maju yang layak huni dan ramah.

Pendidikan menjadi factor utama sebelum dilakukannya revolusi industry besar-besaran. Karena berkat pendidikanlah sebuah revolusi tercipta. Pendidikan di Indonesia meang sudah jauh lebih baik dari masa-masa sebelumnya, namun hal ini belum maksimal.

Permasalahan umum yang bukan lagi menjadi rahasia bagi insan berpendidikan adalah sukarnya memperoleh pekerjaan. Padahal berbekal ijazah dari peerguruan tinggi ternama, IPK sangat memuaskan dan jurusan yang penuh perjuangan untuk meluluskan diri. Hingga akhirnya mereka yang unggul memilih mencari pekerjaan di Negara orang lain. Mengabdikan dirinya untuk memperkaya Negari lain. Bukan negerinya  sendiri.

Bekerja merupakan syarat suatu manusia untuk menjadi manusia sewajarnya. Pakah bekerja itu? Bekerja adalah suatu kegiatan jasmani atau rohani yang menghasilkan sesuatu. Karena itulah mereka yang menyisihkan waktunya menutut ilmu di bangu perkuliahan ingin segera bekerja selepas lulus.

Selain karena ketidakseriusan pemerintah mengatasi masalah-masalah di negeri ini, kesulitan lapangan pekerjaan juga disebabkan karena pribadi pemuda Indonesia itu sendiri yang cenderung malas dan udah menyerah. Secara history Indonesia mengambil pengaruh besar terhadap kehidupan akibat penjajahan Belanda yang terjadi selama ratusan tahun. Itulah kenapa masyarakat bahkan pemuda Indonesia berpikir untuk bekerja dan hanya bekerja.

Jika mereka sulit mencari pekerjaan kenapa tidak membuka lapangan pekerjaan saja? Lebih tepatnya bukan mencari pekerjaan, tapi menciptakan pekerjaan itu sendiri. Bukankah selain bisa memperkerjakan diri sendir juga bisa menyerap pemuda-pemuda lain yang memiliki kesulitan yang saa mengenai lapangan pekerjaan. Ini semua juga dipengaruhi karena kebiasaan penduduk Indonesia menjalani kerja Rodi pada masa penjajahan Belanda. Sehingga yang ada dipikiran mereka adalah bekerja, bekerja, dan bekerja. Hanya segelintir orang yang berani berbisnis, karena berbisnis terkenal penuh resiko.

Selain penyebab dari segi historical, juga dari segi mainset orang-orang Indonesia yang money oriented. Hamper semua orang tua menyekolahkan anaknya dengan harapan akan mendapat pekerjaan yang nyaman dengan penghasilan yang besar sehingga dapat hidup berkecukupann dan tenang. Memang hal ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan, karena setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Namun hal ini justru menimbulkn masalah lain, yaitu manusia menjadi menghlalkan berbagai cara untuk mendaapatkan kemakmuran duniawi.

Kurangnya pengembangan dan pemberdayaan pemuda jug menjadi factor yang cukup berpengaruh. Karena sebenarnya pemuda ada dalam masa yang produktif, yang apabila dimaksimalkan akan menghasilkan hasil yang luar biasa. Pemuda juga mudah untuk menangkap hal-hal baru. Sehingga kesempatan untuk menguasai suatu bidang tertentu lebih terbuka luas.

Karena kesulitan mencari pekrjaan akhirnya tingkat pengangguran semakin tinggi. Jika tingkat pengangguran sudah semakin tinggi, maka tingkat kejahatan akan sejalan perkembangannya dengan tingkat pengangguran. Dari sisi lain para pelaku kejahatan juga membutuhkan uang untuk melanjutkan hidup, sehingga mereka yang tidak bekerja memilih menjadi pelaku kejahatan.

Ini menjadi tugak kita bersama sebagai warga negara Indonesia. Tugas pemerintah untuk mengapresiasi dan mengembangkan karya par pemuda negeri, memberi fasilitas agar para pemuda dapat brkembang, menegakkan hokum, dan berperan aktif memajukan industry Indonesia. Tugas para pemuda adalah belajar dengan giat, terus mengembangkan diri, memupuk rasa nasionalisme untuk mengabdi pada negeri, berperan aktif dan menciptakan ide-ide baru yang bermanfaat. Tugas orang tua untuk terus memberi pendidikan kepada anak mereka tak hanya pendidikan formal tapi juga pendidikan moral, ikut memupuk rasa cinta negeri atau nasionalisme, memberikan perlindungan dan dukungan aktif. Tugas kami semua masyarakat Indonesia untuk mengawasi berjaannya pemerintahan dan rencana memajukan negeri.

Referensi : 

1. Sumardjo Jakob. Orang Baik Sulit Dicari. 1997. Bandung : Penerbit ITB Bandung

2. Widyahartono Bob. Belajar dari Jepang. 2003. Jakarta : Salemba Empat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar