Senin, 01 Oktober 2012

Mesin Waktu (sci-fi)


Malam semakin larut, kesunyian mulai menyapa di sudut jiwa manusia yang sendiri. Ditemani nyanyian jangkrik yang mengalun merdu, memainkan simfoni alam yang indah namun ditengah malam yang semakin larut dan menusuk, Zafa seorang remaja berumur 20 tahun itu tetap bergelut dengan semua eksperimennya.

Cita-citanya menjadi seorang ilmuan membuatnya terobsesi menciptakan alat yang bahkan belum pernah terbayangkan orang lain.

“Zafa, aku bosan melihatmu merakit benda tak jelas seperti itu. Lebih baik kau belajar agar study mu cepat selesai .. yah walau aku tahu kau orang yang pintar,” ucap Riko teman satu kos Zafa.

Zafa hanya tersenyum dan kembali melanjutkan menyelesaikan eksperimennya. Mungkin ia sudah tak peduli lagi dengan kata-kata orang lain tentang dirinya. Walaupun itu Riko, yang notabene sahabatnya sendri.

“Kau ini benar-benar orang yang optimis!” Riko hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu.

“Semoga kau berhasil menciptkannya .. aku ngantuk, aku duluan yah ...,” Riko perlahan beranjak menaiki tangga di hapannya. Bersiap memenuhi panggilan pulau kapuk yang terus memanggilnya.

FOTO FIKSI "SEPOTONG KISAH DI PINGGIR JALAN"


 “Uweeee .. ibu ..” Aku mendengar seorang anak kecil menangis. Dia berdiri sambil menangis dan memanggil-manggil ibunya. Meski banyak orang yang lalu lalang di pinggir jalan ini, namun tak seorang pun menghiraukan tangisan anak itu.             

Suaranya yang nyaring bahkan tak mampu memecah kesunyian di antara ramainya deru kendaraan di tengah teriknya mentari yang bersinar. Tangisan yang terdengar memilukan bagi siapa saja yang mendengarnya. Henya ada beberapa orang yang sekedar melihat, lalu pergi kembali melanjutkan acaranya berjalan kaki ke tempat tujuan mereka.             

Sejenak aku teringat pada ibuku. Ibu yang bahkan tak pernah aku rasakan kehadirannya. Ibu yang selalu kurindukan. Merindukan tatapan matanya yang menyiratkan kasih sayang. Ibu yang harus pergi saat aku merasakan dunia ini untuk pertama kalinya.             

27032012


Apakah kau tahu?
aku seperti orang asing di kehidupanku sendiri. Aku tak tahu di mana aku sekarang. Aku kehilangan diriku yang dulu.
Terkadang aku rindu diriku yang dulu, dan bertanya pribadi seperti apa yang akan aku dapatkan di masa depan. Aku ingin menanyakan hal itu jikaseandainya aku bisa. Tapi, harus kepada siapa kutanyakan semuanya itu? Kepada air yang membiarkan daun mengalirkah? Atau kepada angin yang berhembus setia senja tiba?

Masih jelas terekam di ingatanku ini pekikan kata-kata masa lalu. Kata yang ada dalam pribadiku yang dulu. Masa itu yang benar-benar kurindukan. Masa menyulam sebuah lembaran kehidupan, dan menyusunnya dengan deretan rapih impian masa depan. Dengan pena yang selalu menemani, akan kutuliskan setiap kata yang terpekik dari pemikiran para penulis hebat, bersama Aisyah kawanku.

Aku rindu disaat aku dapat merengguk indahnya madu mimpi. Merasakan dunia mimpi nyat dalam kehidupanku. Membat hidup adalah sahabat terbaik untuk diriku. Aku yang selalu termenung dengan semua mimpi yang memenuhi kepala ini. terus menunduk menyelami dalamnya impian yang tak akan pernah terukur oleh logika manusia. Menikmati setiap cercaan dan cacian sebagai bumbu penyedap kehidupanku, yang nantinya membuat sempurna sulaman lembar kehidupanku.

Tuhan, aku ingin bertanya. Dapatkah aku merengguk masa-masa itu kembali? Memeluknya erat agar tap bersamaku? Membawa Aisyah awanku pulang, bersama menyelami dalamnya mimpi lagi. Dengan semangat berkobar yang terasa indah dan mengagumkan. Akan jadi pribadi seperti apa aku nanti?

Hal yang Terlupakan


Awan mendung kembali menggelayuti kota ini di sore hari. Ini aku. Aku yang masih sama seperti hari kemarin. Aku yang mulai tumbuh dari sekuncup bunga yang entah akan jadi sempurna atau sebaliknya.

Kau tahu? Aku selalu berharap aku bisa menjadi sekuntum bunga indah yang akan tumbuh secara perlahan.

Gemuruh guntur itu menyapa hariku. Aku tersentak kaget mendengarnya. Aku bertanya dalam hati, ada apa ini Tuhan? Aku ingin membuang jauh suara itu. Rasanya aku seperti masuk kedalam dunia baru yang tidak ku kenal. Semua hal yang aneh dan tak kuketahui menyapaku setiap harinya. Aku ingin lari menjauh darinya. Tapi aku sadar aku tak bisa.

Gadis Kue Donat


“Mas, es cendolnya mas?” Tawar seorang penjual es kepada Andi, pemuda yang kini tengah terduduk sendiri di salah satu dari banyak tempat duduk di taman itu. Andi hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis kepada sang penjual.

Matanya kembali menelisik keramaian taman kota di sore hari. Menyaksikan banyak orang terlarut dalam hidupnya masing-masing. Sebagian orang tampak gembira, pergi berjalan-jalan bersama keluarga, kekasih, atau orang yang mereka sayangi. Namun sebagian lagi tak jauh berbeda dengan dirinya yang termenung sendiri, menganggap semua orang yang ada di taman kala itu hanya sebuah sepoi angin yang menyapa dan perlahan menghilang. Tak ketinggalan juga kelompok manusia yang bekerja membanting tulang untuk menyambung hidup esok hari yang masih berupa harapan bagi mereka.

“Hufth ...” Desah Andi tertahan. Dicobanya bernafas, melepas beban yang menyesakkan dadanya. Kakinya yang panjang tak kunjung berpindah walau waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Dimana selayaknya siswa SMA sepertinya sudah berada di rumah. Beristirahat dan mengerjakan semua tugas sekolah.

Tiba-tiba matanya tak sengaja menangkap siluet sesosok gadis yang mungkin seumuran dengannya yang sedang duduk seorang diri sembari menghitung uang yang ada dalam genggamannya. Di bawah pohon Flamboyan yang cukup rindang gadis itu terlarut dengan kegiatannya. Beberapa tumpuk kotak kue berukuran besar tampak di sebelah kirinya. Ada sedikit potongan donat yang masih tersisa di salah satu kotak kue itu.

Teru Teru Bozu



“Sial .. kenapa hujan turun saat seperti ini” Ucap seorang lelaki dengan membawa tumpukan kertas ditangannya. Ia bergegas berlari dengan tas yang dipakainya sebagai tameng untuk memayunginya dari hujan. Lelaki itu terus berlari menghindari hujan menyusuri jalan yang dipenuhi pohon azalea di pinggirannya juga sebuah sungai kecil yang menemani dipinggiran jalan. 
Tak lama kakinya berhenti pada sebuah gubuk kecil, sekedar untuk berteduh dari hujan yang semakin deras. Perlahan lelaki itu duduk sambil mngibas-ngibaskan pakaiannya yang basah, berharap sedikit bisa mengeringkannya. 
“Aish .. kenapa harus hujan? Naskahku jadi basah begini, bagaimana kalu robek?” Ia menggerutu sambil menyadari keteledorannya yang tidak memasukkan naskah tersebut kedalam tas. Tanpa ia sadari seseorang mmperhatikannya sejak tadi. Memandang tajam apa yang namja itu lakukan. 
“Ada apa agashi?” Lelaki itu tersentak dan segera membalikan tubuhnya, ia bahkan tidak menyadari ada seseorang selain dirinya di gubuk kecil itu. Sekejap lelaki itu memandang heran pada seseorang yang duduk tak jauh darinya. 
Ia seorang wanita yang terlihat kurus dan pucat, namun tampak manis. Rambutnya yang tergerai panjang menambah kesan manis pada wajahnya. Namun matanya yang indah itu terlihat redup, seperti menceritakan sebuah kepedihan di dalamnya. 
“Oh .. maaf agashi saya tidak tahu anda ada di sini tadi. Sekali lagi maaf kalau saya megganggu.” Namja itu justru tersenyum kecil meminta maaf pada wanita disampingnya. 
Setelahnya keheningan tercipta diantara mereka. Sang lelaki sibuk berdoa agar hujan segera berhenti dan dia bisa berlari dengan cepat menuju tempat yang ia tuju. Ia sengaja memilih jalan ini, karena jalan ini merupakan jalan pintas menuju tempat tersebut. Jika tahu hujan akan turun, mungkin ia lebih memilih naik bus kota sehingga tak harus kehujanan seperti ini. Sementara sang wanita hanya diam mematung memandang hujan yang turun semakin deras. 
Matanya hanya menatap butiran-butiran air yang jatuh itu. Baginya hujan adalah sebuah kejadian alam yang indah, lebih indah dari mekarnya semua bunga di musim semi. 
“Aishh .. kenapa hujannya malah semakin deras!” Lelaki tersebut semain kesal menunggu lama, sambil sesekali melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Mungkin waktunya sudah tak banyak untuk pergi ke tempat yang ditujunya. 
Agashi sedang buru-buru?” Wanita itu memecah keheningan diantara mereka. Rasanya aneh bukan jika berlama-lama dalam satu atap dengan seseorang tanpa adanya sebuah pembicaraan?