Senin, 01 Oktober 2012

FOTO FIKSI "SEPOTONG KISAH DI PINGGIR JALAN"


 “Uweeee .. ibu ..” Aku mendengar seorang anak kecil menangis. Dia berdiri sambil menangis dan memanggil-manggil ibunya. Meski banyak orang yang lalu lalang di pinggir jalan ini, namun tak seorang pun menghiraukan tangisan anak itu.             

Suaranya yang nyaring bahkan tak mampu memecah kesunyian di antara ramainya deru kendaraan di tengah teriknya mentari yang bersinar. Tangisan yang terdengar memilukan bagi siapa saja yang mendengarnya. Henya ada beberapa orang yang sekedar melihat, lalu pergi kembali melanjutkan acaranya berjalan kaki ke tempat tujuan mereka.             

Sejenak aku teringat pada ibuku. Ibu yang bahkan tak pernah aku rasakan kehadirannya. Ibu yang selalu kurindukan. Merindukan tatapan matanya yang menyiratkan kasih sayang. Ibu yang harus pergi saat aku merasakan dunia ini untuk pertama kalinya.             

Aku masih ingat kala itu. Ketika umurku 2 tahun, aku mulai menanyakan keberadaan ibuku. Seorang wanita yang selalu hadir, menemani, mengurus, dan menjadi penenangku ketika sedih. Sempat aku bertanya pada ayah kala itu.            

“Ayah, ibu mana? Ayah bilang ibu pergi ke tempat yang jauh, tapi kenapa ibu tak kunjung pulang?”            

“Ibu sedang pergi jauh Fitri, kamu akan bertemu Ibu suatu saat nanti. Ketika kamu juga pergi menyusul ibu, kita akan berkumpul lagi.” Jelas ayah sambil tersenyum, namun dapat kulihat ayah meneteskan air matanya, namun segera menghapusnya kembali. Aku yang ketika itu tak mengerti apa yang ayah ucapkan hanya diam.            

“Tapi kapan kita bisa menyusul ibu yah? Kenapa tidak ibu saja yang datang kemari? Atau jangan-jangan Fitri tak punya ibu?”           

“Kamu bicara apa nak? Fitri punya ibu! Ibu yang cantik, baik, dan juga penyabar. Apa Fitri benar-benar merindukan ibu?” Tanya ayah sambil berusaha mensejajarkan tubuhnya denganku.           

Aku hanya menganggukan kepala sendu. Pastilah semua anak merindukan ibunya, ibu yang bahkan belum pernah membawa sang anak ke dalam dekapan hangatnya. Yang tak penah menimang anak yang dilahirkannya dengan penuh peluh dan perjuangan.           

Ayah hanya memelukku erat seraya berkata, “Fitri pasti akan bertemu ibu suatu saat nanti, walau itu hanya dalam bunga tidur. Ayah akan utarakan semuanya, di saat umurmu sudah siapa nak!” Ucap ayah sedikit berbisik sambil terus memelukku erat.           

Walau ayah selalu berkata begitu, namun aku tetap ingin punya seorang ibu yang nyata. Yang tidak ayah janjikan datang, tapi juga benar-benar hadir dalam hidupku. Kadang aku sering menagis, melihat mereka yang memiliki ibu. Yang bisa merasakan indahnya kasih sayang seorang ibu. Aku terus bersabar, hingga akhirnya aku tahu yang sebenarnya bahwa ibuku sudah pergi untuk selama-lamanya.           

Awalnya aku tak bisa menerima ini. Aku berfikir bahwa aku tak bisa hidup tanpa seorang ibu. Namun akhirnya aku mengikhlaskannya. Justru harusnya aku berterimakasih karena seorang wanita yang mulia dan sangat berharga dalam hidupku telah mengorbankan nyawanya untuk seorang anak sepertiku. Bukankah hanya dusta bahwa aku tak dapat hidup tanpa seorang ibu?           

Aku sadar bahwa sampai saat umurku 6 tahun dan akhirnya mengerti semua yang ayah maksud, aku hidup tanpa ibu. 6 tahun aku hanya hidup dengan seorang ayah dan nenek yang sangat menyayangiku.           

Yang aku butuhkan hanya kekuatan untuk menghadapi jeruji kehidupan masa depanku. Kekuatan untuk menghadapi semua badai yang akan terus berputar-putar dalam lautan realita kehidupan. Semangat yang besar dan kuat yang kini harus aku siapkan. Untuk membuat layar perahuku terkembang sempurna. 

****           

Perlahan kuhampiri anak itu. Namun dari jauh kulihat seorang wanita paruh baya berambut panjang dengan tinggi yang semampai menghampiri anak itu, kemudian membawa ke dalam dekapan hangat seorang ibu. Wajahnya yang menyiratkan semburat kehawatiran itu sedikit tersenyum.          

“Jangan menagis sayang .. ibu di sini! Ibu akan selalu di sampingmu.” Ucap wanita itu yang masih bisa kudengar.Dia melanjutkan jalannya sembari menghapus air mata dan menenangkan tangis buah hati yang kini dalam dekapannya itu.          

“Beruntungnya anak itu..”          

Hanya kalimat itu yang dapat kuucapkan. Seandainya aku bisa seperti anak kecil itu. Merasakan kasih sayang seorang ibu yang berjuang demi seseorang yang sangat dia tunggu, demi buah hatinya tercinta. Aku membayangkan betapa cantiknya wajah ibuku, seperti wanita itu. Wajah yang hanya bisa kulihat lewat sebuah foto usang.          

“Fitri ...” Seseorang menepuk bahuku pelan, menyadarkanku dari semua lamunan itu. Ah iya, aku lupa saat ini aku harus pergi ke kampus.          

Aku hanya menyaksikan dua sosok yang membuatku kembali bersyukur bahwa aku juga mempunyai seorang ibu yang benar-benar menyayangiku. Dan membuat aku bangga pada seorang ayah yang benar-benar sosok teladan dalam hidupku.          

Aku yang awalnya hanya mengutuki takdir Tuhan untukku, kini sadar bahwa semua rencananya adalah baik. Walau rindu selalu menerangi kalbu, namun aku yakin rindu ini akan padam dan menjadi sinar yang sangat cerah pada waktunya.          

Dua sosok itu terus menjauh dan menjauh. Hanya tatapan nanar yang bisa kuberikan. Dan tak lama aku juga pergi meninggalkan sepotong kisah itu.  
created by : Ratih Windu Arini 

1 komentar: