Senin, 01 Oktober 2012

Gadis Kue Donat


“Mas, es cendolnya mas?” Tawar seorang penjual es kepada Andi, pemuda yang kini tengah terduduk sendiri di salah satu dari banyak tempat duduk di taman itu. Andi hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis kepada sang penjual.

Matanya kembali menelisik keramaian taman kota di sore hari. Menyaksikan banyak orang terlarut dalam hidupnya masing-masing. Sebagian orang tampak gembira, pergi berjalan-jalan bersama keluarga, kekasih, atau orang yang mereka sayangi. Namun sebagian lagi tak jauh berbeda dengan dirinya yang termenung sendiri, menganggap semua orang yang ada di taman kala itu hanya sebuah sepoi angin yang menyapa dan perlahan menghilang. Tak ketinggalan juga kelompok manusia yang bekerja membanting tulang untuk menyambung hidup esok hari yang masih berupa harapan bagi mereka.

“Hufth ...” Desah Andi tertahan. Dicobanya bernafas, melepas beban yang menyesakkan dadanya. Kakinya yang panjang tak kunjung berpindah walau waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Dimana selayaknya siswa SMA sepertinya sudah berada di rumah. Beristirahat dan mengerjakan semua tugas sekolah.

Tiba-tiba matanya tak sengaja menangkap siluet sesosok gadis yang mungkin seumuran dengannya yang sedang duduk seorang diri sembari menghitung uang yang ada dalam genggamannya. Di bawah pohon Flamboyan yang cukup rindang gadis itu terlarut dengan kegiatannya. Beberapa tumpuk kotak kue berukuran besar tampak di sebelah kirinya. Ada sedikit potongan donat yang masih tersisa di salah satu kotak kue itu.



Andi mengerjap-ngerjapkan matanya, seakan tak percaya matanya berhasil menangkap sesosok gadis imut dengan rabut sebahu, bertubuh mungil, dan berkulit putih susu. Dirasanya ada sesuatu yang menyeruak memaksa keluar dari dalam dadanya. Sesak yang ia rasakan terasa hilang entah kemana.

Senyum terukir di bibir Andi dengan mata yang menatap lekat gadis itu. Hatinya semakin bergemuruh, terasa aneh kala gadis itu sedikit menyunggingkan senyum di bibirnya mentap uang yang ada dalam genggamannya. Angin yang memainkan rambut gadis itu mebuatnya semakin bertambah manis.

Dalam hatinya Andi menyadari bahwa Tuhan begitu hebat, menciptakan seorang gadis menakjubkan seperti gadis yang kini sedang dipandangnya.

****

“Tunggu!”

Sapa sebuah suara, membuat gadis yang tengah membawa kotak-kotak makanan itu mengurungkan niatnya ntuk beranjak dari duduk dan justru membalikan badannya.

Mata gadis itu menemukan seorang lelaki berambut ikal berwarna coklat, dan bertubuh tegap yang memiliki yang tak kalah indah dari dirinya. Mata gadis itu menatap mata obsidian milik pemuda itu menatap dalam ke mata sang gadis.

“Maaf, kamu bicara dengan saya?” Lanjut gadis itu sopan sembari menunduk kecil.

“Hm ...” Andi sang pemilik mata obsidian tersebut menganggukan kepalanya.

“Ada apa?” Tanya gadis berambut sebahu yang kembali duduk. Andi yang seakan dipersilahkan duduk mengikuti gadis itu untuk duduk juga.

“Aku Andi kamu siapa?”

Gadis itu mengerutkan keningnya bingung. Apa maksud lelaki dihadapannya ini? mengajak berkenalankah? Kenapa kaku sekali, cara yang aneh.

“Oh ... aku Sulli.” Sulli menyambut uluran tangan Andi seambil tersenyum kecil. Senyum yang manis dan indah.

Suasana canggung tercipta untuk beberapa saat. Andi yang sibuk menstabilkan degupan jantungnya yang tak teratur hanya terdiam. Sedangkan Sulli yang bingung ingin berkata apa juga hanydiam.

“Yang di dalam kotak itu apa? Sepertinya kue donat?”

Pertanyaan yang benar-benar memalukan itu tiba-tiba keluar begitu saja dari mulut Andi, niat hati ingin memecah keheningan kini malah terliahat aneh.

“Iya ...” Jawab Sulli singkat dan jelas.

“Kamu menjualnya?” Tanya Andi dengan tatapan mata menuju ke arah kotak sejenak.

“Iya ... hitung-hitung menambah uang SPP. Kamu kok belum pulang?”

“Oh ... aku malas di rumah, di rumah berisik!” Jawab Andi ketus, ketika ingatannya kembali mengingat masalah keluarganya di rumah.

“Ada masalah ya?”

Sulli menghadapkan kepalanya ke arah Andi yang berada di sampingnya. Matanya mencoba menelisik sosok Andi di sampingnya kini. Seakan sayu dan penuh beban.

“Seperti appapun mereka, mereka orang tuamu”
Andi terdiam sejenak, matanya berbalik ke arah gadis manis yang kini disampingnya. ‘Dari mana dia tahu?’ fikirnya. Matanya memandang gadis manis yang tengah menatap sekelompok anak bermain di lapangan yang tak jauh dari tempat mereka duduk.

“Aku justru selalu bermimpi memiliki orang tua. Dulu ketika aku masih seumuran mereka, aku selalu berdo’a pada Tuhan agar Tuhan memberiku orang tua. Agar aku juga bisa seperti mereka, merasakan kasih sayang ayah dan ibu.” Mata Sulli menatap penuuh harap kepada anak-anak yang tengah bermain itu.

“Tapi mereka egois! Mereka berbuat sesuka hati. Buat apa mereka malahirkanku kalau mereka tak mengangga aku ada”

“Hus! Jangan begitu. Kamu harusnya bersyukur bisa punya orang tuan lengkap. Tidak sepertiku yang hidup sendiri sejak kecil.”

Sulli kembali jauh menelisik kedalam batas waktu antara hati dan kehidupan nyata. Ingatannya jauh kembali ke awal saat dirinya dilahirkan, saat nasib buruk sudah menyapanya sejak ia membuka matanya di dunia ini.

“Aku terlahir dengan cap buruk di keningku. Kau tahu? Aku terlahir dari seorang ibu yang tak jelas siapa suaminya. Ketika lahir aku dibuang di panti asuhan di ujung jalan sana. Dari kecil ketika aku bertanya siapa orang tuaku, mereka hanya berkata bahwa aku adalah korban selamat dari peristiwa gempa berpuluh-puluh tahuun silam. Namun perlahan akhirnya aku mengetahuinya.” Sulli berhenti sejenak dari ceritanya, menghela nafas dalam berusaha menghilangkan rasa pilu di hatinya. Menyembunyikan rasa sakit yang begitu dalam dari lelaki di sampingnya itu. Dia tak ingin terlihat lemah dihadapan orang lain.

“Kau tahu bagaimana perasaanku ketika aku tahu siapa ibuku yang sebenarnya? Itu lebih menyakitkan dari pada aku tak punya orang tua sampai aku mati. Itu yang awalnya aku fikirkan. Namun kemudian aku berfikir, Tuhan Maha Adil. Dalam setiap rencananya pasti terselip maksud baik untu hidup hambanya. Perlahan aku mencoba menerimanya, menerima takdir Tuhan bahwa aku sedang beajar hidup mandiri. Walau pada akhir kehidupanku di dunia ini aku tak kunjung berjumpa dengan orang tuaku, mungkin di kehidupan yang kekal nanti Tuhan akan mempertemukan kami. Kini semua orang-orang yang menyayangiku adalah keluargaku. Mereka adalah tulang rusuk hidupku. Dari mereka aku belajar tentang kehidupan.”
Sulli menengadah menatap langit senja yang kini telah berwarna oranye. Memandang kekuasaan Tuhan yang tergores pada hamparan alam yang begitu luar biasa. Matanya terus menatap jauh ke atas, seakan mencari tempat tinggal untuk hidup selanjutnya.

“Jangan pernah berfikir apa yang telah kita terima dari seseorang, tapi apa yang telah kita berikan padanya. Begitupun hidup, fikirkanlah apa yang telah kau beri untuk orang tuamu. Jika sudah, barulah kau pantas menyalahkan mereka.”

Sulli beranjak dari duduknya dengan menenteng tumpukan kotak kue ditangan kanan dan kirinya. Senyumnya mengembang sesaat lalu beralih memandang Andi yang tertunduk.

“Aku pergi, senang berkenalan denganmu...”

Sulli berjalan perlahan menelusuri jalanan kecil dipinggiran taman dengan dtemani harum bunga mawar yang bermekaran disepanjang jalan itu. Belum sampai beberapa langkah—

“Besok orang tuaku bercerai ...” Andi berdiri dari duduknya memandang Sulli yang memunggunginya. Matanya menyiratkan kesedihan dan ehilangan yang begitu dalam.

“Berdo’a saja yang terbaik untuk mereka dan lanjutkan hidupmu. Hidupmu tak boleh berhenti sampai disini. HWAITING!!”
Dengan senyum yang merekah indah Sulli memekikkan kata semangat untuk Andi, kawan barunya.

****

Keesokan harinya ketika sore tiba Andi kembali menuju taman, tepatnya menuju tempat dimana Andi bertemu dengan gadisnya kemarin, Sulli. Langkahnya yang tegap dan pasti menggambarkan bahwa dirinya siap untuk melanjutkan hidup. Walau kini kedua orangtuanya telah remi berpisah.

Semalaman ia merenung, bahwa perkataan Sulli ada benarnya. Bercerai juga bukanlah kemauan sepasang suami istri, apa lagi yang telah memiliki buah hati dalam keluarga mereka. Seorang anak yang menjadi korban juga tiddak sepenuhnya dapat menyalahkan orang tua. Terkadang ada suatu hal yang tak bisa dimengerti oleh sang anak.

“Mas, es cendolnya mas?” Pedagang es cendol tempo hari kebali menawarkan dagangannya pada Andi yang duduk dengan setia menanti gadisnya. Andi hanya kemabli tersenyum dan menganggukan kepalanya kecil.
Matahari mulai menghilang, senja kini hanya menampakan sinar oranyenya. Beberapa menit lagi malam akan tiba.

Perasaan gusar tergurat jelas dalam wajah Andi. Hatinya mencelos, menggerutu gadisnya yang tak kunjung menampakan diri. Dalam hati ia bertanya, kemana sosok manis yang telah memikat hatinya itu?

Ketika hari sudah benar-benar gelap, Andi memutuskan untuk pergi ke panti asuhan di ujung jalan sana. Tempat Sulli selama ini tinggal.

Matanya menelisik gerbang panti asuhan itu. Panti asuhan dengan gerbang sederhana dan banguna yang tampak tua yang kini terlihat di hadapannya. Lengkahnya sedikit ragu untuk memasuki pekarangan panti asuhan itu.

Perlahan tapi pasti Andi melangkah memasuki pekarangan Panti Asuhan itu. “Panti Asuhan Kasih Bunda” plang itu yang menyambut kedatangannya.

“Tok tok tok”

Andi mengetuk pintu pasnti asuhan itu. Hatinya terus berdo’a agar Sulli ada di dalam sana.

“Ada apa nak?” Ucap seorang wanita paruh baya yang membukakan pintu.

“Maaf menggnggu malam-malam begini Bu. Apa Sullinya ada?” Si Ibu menatap Andi heran. Keningnya yang tampak tua semakin terlihat mengkerut heran.

“Nak ini temannya Sulli?”

“Ah ... Iya saya temannya Bu. Sullinya ada?” Andi kembali melontarkan pertanyaannya guna meminta kepastian.

Seketika wajah Ibu itu menyiratkan kesedihan yang dalam. Matanya memancarkan kerinduan sekaligus kepedihan. Dihelanya nafas pelan sebelum bicara.

“Sulli sudah meninggal 2 hari yang lalu nak.”

Deg

Pernyataan tadi membuat Andi tertegun. Hatinya serasa kaku seketika, jelas menolak pernyataan Ibu tersebut. Jelas-jelas kemarin drinya bertemu dengan Sulli. Tapi untuk apa Ibu ini berbohong, apa mungkin Sulli yang Ibu tersebut bilang bukanlah Sulli yang dia maksud?

“Ah masa Bu, kemarin saya masih mengobrol dengannya. Dia itu gadis manis berambut sebahu, bertubuh mungil, dan berkulit putih susu Bu. Dia bilang dia tinggal di sini.” Jelas Andi secara detil.

“Iya, Ibu tahu. Tapi dia memang sudah meninggal 2 hari lalu akibat tertabrak mobil saat menyebrang jalan.” Terang wanita itu dengan wajah yang benar-benar sedih, matanya yang mulai terlaapisi air mata tambak mengilat saat beradu dengan lampu jalan.

“Kalau begitu yang aku temui kemarin siapa?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar