Selasa, 23 Desember 2014

Catatan Sehari di Antah Berantah

Pagi itu semua terasa masih menyakitkan. Melangkahkan kaki ditengah hiruk pikuk kesibukan pagi. Suara sapu nyere terdengar bersahutan bersama suara langkah kakiku. Tuan separuh baya pemiliknya dengan telaten membersihkan satu persatu sampah daun yang tak lagi bertahan dalam kekuatan angin. Tak ada kepenatan. Wajahnya begitu damai dan tenang.
Sempat terpikir bagaimana ia bisa begitu damai dengan hanya bekerja sebagai tukang sapu? Bahkan aku pun tak tahu apakah dia sanggup bahkan hanya untuk membeli satu tusuk sate. Apalagi membawa anaknya menempuh pendidikan tinggi?

Hari itu aku belajar lagi tentang rasa sakit kegagalan. Rasa sakit yang menyisakkan luka yang bahkan masih belum kering hingga kini. Melihatnya melangkah di beranda, aku sadar bahwa Allah Maha Segalanya. Rencananya selalu penuh misteri.
Andai saja waktu itu aku lolos kami pasti akan berjalan bersama. Bersama membawa mimpi besar dengan mata menyalak penuh semangat. Andai saja jika Kau memperkenanku bernasib sama dengannya. Andai saja. Ya. Semua hanya andai saja.
Ketika tubuh tegarnya setelah semalam suntuk membolak-balik kertas materi kalkulus itu perlahan melangkah masuk, aku mematung. Sepersekian detik. Ketika itu waktu terasa berhenti. Ya. Dia. Sahabatku yang hebat itu. Aku masih mengharapkan aku ada di sampingnya. Berjalan beriringan. Bukan hanya sekedar melewati pelataran, lalu berlalu pergi.
Saat terdiam wajah wanita terhebatku kembali menyapa. Seperti roll film yang memutar jelasa menampakkan rekaman ketika wanita itu menangis. Menangis kecewa dengan kegagalanku. Menangisi nasib yang entah akan seperti apa. Yang entah akan ke mana. Terbangkah? Atau apa?
Sakit.
Hanya itu.
Setelah langkah itu menjauh aku berbalik. Tersadar dari mimpi singkatku dan kembali berjalan. Berjalan pada jalan yang saat ini kutempuh. Yang entah akan berakhir di mana.
Di tangan kananku ada sebuah hadiah dari sahabat terhebat. Aku tahu isinya. Karena sebelumnya ia berkata aku pasti tau isinya. Isinya hanya sebuah papan ujian. Namun ketika kubaca surat darinya, seketika kobaran semangat itu datang lagi, entah dari mana. Mungkin salah satu bagian dari keajaiban. Itulah alasan kenapa aku suka berdekatan dengannya. Semangatnya mengalir bagai sengatan listrik.
Ia selalu percaya pada kemampuanku. Percaya bahwa aku memang pantas ada di sana bersamanya. Percaya bahwa aku bisa. Percaya bahwa aku hebat. Dan percaya bahwa aku tak akan menyerah. Hanya dia yang percaya bahkan ketika aku tak lagi percaya dengan kemampuanku. Ketika aku tak lagi percaya bahwa aku pantas ada di sana bersamanya. Ketika aku tak lagi percaya bahwa aku bisa. Ketika aku tak lagi percaya bahwa aku manusia hebat apa lagi inspiratif. Dan letika aku bahkan mulai menyerah. Menyerah dengan semuanya. Entah pun itu hanya sekedar bermimpi, aku menyerah.
Ia adalah orang selalu bisa mematik api semangatku bahkan hanya dengan membaca kertas-kertas di dinding kamarnya. Wanita yang luar biasa :')
Dia bisa selalu mebuatku kuat. Meyakinkan bahwa Allah memberi semua jalan ini karena Ia sayang padaku. Mau melihat lagi usaha dan mendengar doaku lebih banyak lagi. Selalu seperti itu.
Aku ingin berubah. Percaya lagi. Pada semua yang aku percayai. Berlari lagi dengan menutup mata dan gelinga. Tak peduli seberapa jauh aku akan berlari. Tak akan berhenti sampai basub yang menyerah pada ketekunanku.
Untuk Allah, Ibu, Ayah, Adik kecil, dan untukmu sahabat hebatku :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar