Senin, 15 Desember 2014

Keadilan Hukum di Indonesia

Hukum, semua orang pasti takut mendengar nama itu dan berpikir untuk tidak berurusan dengan dia dan mungkin semua orang sudah mengetahui atau mungkin berpura pura tidak mengetahui agar tidak terlihat ikut campur di dalamya. Hukum sendiri memiliki pengertian  sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak. dan hukum juga memiliki pengertian sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi yang terjadi didalamnya dan disesuaikan dalam hukum pidana. Tapi apakah penyelenggaraan hukum diindonesia  sudah cukup adil ?? berikut ini saya akan menjelaskannya.


Menurut pandangan hukum, hukum di Indonesia itu masih sulit ditemukan asas keadilannya karena hukum di Indonesia bisa dibeli dengan uang artinya yang punya uang dan punya kekuasaan itulah yang dapat membeli hukum di negeri Indonesia ini, sebagai contohnya yang masih hangat saat ini yaitu kasus yang menimpa anak dari menteri perekonomian Hatta radjasa yaitu Rasyid radjasa yang sudah jelas-jelas menabrak orang dan mengakibatkan kehilangan nyawa tetapi tidak  dihukum karena alasan kesehatan rasyid yang tidak stabil dan berbeda dengan nasibnya orang biasa yang melakukan hal sama tetapi langsung diambil tindakan hukum dan langsung dijadikan tersangka meskipun orang tersebut masih dirawat dirumah sakit. tapi yang pasti permasalahan ini terjadi bukan karena masalah hukumnya tetapi oknum dibalik semua ini yang menjalankan pelaksanaan hukum karena masih banyak opnum-opnum pemerintahan yang menghalalkan segala cara demi mencari keadilan yang tidak sah. dan dari segi mematuhi peraturan yang sudah disusun dalam UUD (undang-undang dasar) jadi kesannya hukum di Indonesia itu seperti menindas yang lemah dan memihak kepada yang berkuasa atau mempunyai uang. Dan permasalahan lainnya adalah masih banyak masyarakat Indonesia yang menyepelekan aturan tersebut dengan kata lain mereka hanya takut pada aturan dan tidak mengerti fungsi aturan hukum itu dibuat. Setelah itu masyarakat Indonesia itu masih kurang mendukung terhadap aturan-aturan yang dirancang pemerintah karena mereka hanya berpikir bahwa hukum Indonesia sudah tidak benar. Keadilan itu tidak harus sama rata tapi juga harus diukur dari sebab akibatnya.

Solusi
Dari permasalahan diatas saya akan mencoba memberikan solusi yang diharapkan akan mengurangi atau bahkan menghilangkan permasalahan diatas. Sebagai berikut :
  1. Sebagai masyarakat Indonesia yang baik kita harus tetap peka terhadap hukum di indonesia, harus tahu hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik, yang nantinya akan menjadi kebiasaan dikemudian hari sehingga Indonesia menjadi negara yang bersih.
  2. Melakukan pembersihan (brainwash) didalam lembaga pengadilan republik Indonesia untuk menghilangkan opnum-opnum yang mencari keuntungan yang mengatasnamakan hukum.
  3. Memberikan nilai standar yang tinggi bagi para calon hakim agar tidak sampai salah memilih hakim yang nantinya akan bertugas.
  4. Memberikan pelajaran religius yang lebih dalam lagi tentang haramnya korupsi dan penerimaan uang suap bagi penegak hukum mulai dari sekolah-sekolah hukum.
Akhir-akhir ini lembaga peradilan Indonesia mendapat sorotan besar dari berbagai kalangan. Pasalnya, lembaga peradilan yang seharusnya mampu mewujudkan rasa adil bagi seluruh masyarakat, justru tidak jarang hanya tajam ke bawah, namun tumpul saat mengarah ke kasus-kasus yang melibatkan penguasa.
Menanggapi fenomena tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito menuturkan, seharusnya aparat penegak hukum mampu menelaah dan memahami secara utuh arti dari keadilan itu sendiri, sebagai suatu modal untuk dapat mewujudkan peradilan terhadap semua pihak.
“Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan dia pegang,” kata Sudjito dalam acara workshop dengan tema ‘Mendorong Keterbukaan Pengambilan Putusan di MA’, yang digelar di Hotel Aston, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (24/1/2013) kemarin seperti dilansir okezone.com.
Dia menambahkan, proses yang berjalan di lembaga peradilan Indonesia saat ini cenderung dilakukan hanya dengan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang di permukaan saja, bukan sepenuhnya memahami inti dari kasus yang sedang ditangani.
“Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja,” ungkapnya.
Bahkan, kata Sudjito, para hakim yang entah tidak berani atau tidak mau untuk sampai pada hakekat keadilan yang bersifat progress. “Dengan begitu, maka keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal. Keadilan yang hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. Itu saja,” paparnya.
Dengan demikian, sambungnya, dapat dikatakan bahwa sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum benar-benar terwujud dengan baik, dan keadilan di Indonesia hanyalah bersifat formalitas atau  simbolik semata.
“Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya aja, tapi UU kayak apa? Itulah pertanyaannya. Nah, corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/25/26308-keadilan-di-indonesia-baru-sebatas-formalitas.html#sthash.qJDYNsGr.dpuf
Akhir-akhir ini lembaga peradilan Indonesia mendapat sorotan besar dari berbagai kalangan. Pasalnya, lembaga peradilan yang seharusnya mampu mewujudkan rasa adil bagi seluruh masyarakat, justru tidak jarang hanya tajam ke bawah, namun tumpul saat mengarah ke kasus-kasus yang melibatkan penguasa.
Menanggapi fenomena tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito menuturkan, seharusnya aparat penegak hukum mampu menelaah dan memahami secara utuh arti dari keadilan itu sendiri, sebagai suatu modal untuk dapat mewujudkan peradilan terhadap semua pihak.
“Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan dia pegang,” kata Sudjito dalam acara workshop dengan tema ‘Mendorong Keterbukaan Pengambilan Putusan di MA’, yang digelar di Hotel Aston, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (24/1/2013) kemarin seperti dilansir okezone.com.
Dia menambahkan, proses yang berjalan di lembaga peradilan Indonesia saat ini cenderung dilakukan hanya dengan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang di permukaan saja, bukan sepenuhnya memahami inti dari kasus yang sedang ditangani.
“Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja,” ungkapnya.
Bahkan, kata Sudjito, para hakim yang entah tidak berani atau tidak mau untuk sampai pada hakekat keadilan yang bersifat progress. “Dengan begitu, maka keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal. Keadilan yang hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. Itu saja,” paparnya.
Dengan demikian, sambungnya, dapat dikatakan bahwa sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum benar-benar terwujud dengan baik, dan keadilan di Indonesia hanyalah bersifat formalitas atau  simbolik semata.
“Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya aja, tapi UU kayak apa? Itulah pertanyaannya. Nah, corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/25/26308-keadilan-di-indonesia-baru-sebatas-formalitas.html#sthash.qJDYNsGr.dpuf
Akhir-akhir ini lembaga peradilan Indonesia mendapat sorotan besar dari berbagai kalangan. Pasalnya, lembaga peradilan yang seharusnya mampu mewujudkan rasa adil bagi seluruh masyarakat, justru tidak jarang hanya tajam ke bawah, namun tumpul saat mengarah ke kasus-kasus yang melibatkan penguasa.
Menanggapi fenomena tersebut, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito menuturkan, seharusnya aparat penegak hukum mampu menelaah dan memahami secara utuh arti dari keadilan itu sendiri, sebagai suatu modal untuk dapat mewujudkan peradilan terhadap semua pihak.
“Persoalannya, proses peradilan kita itu sudah terbiasa menghadirkan fakta sebagai barang bukti. Jadi, hanya berdasarkan apa yang dia lihat, dengar, dan dia pegang,” kata Sudjito dalam acara workshop dengan tema ‘Mendorong Keterbukaan Pengambilan Putusan di MA’, yang digelar di Hotel Aston, Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (24/1/2013) kemarin seperti dilansir okezone.com.
Dia menambahkan, proses yang berjalan di lembaga peradilan Indonesia saat ini cenderung dilakukan hanya dengan melihat suatu permasalahan dari sudut pandang di permukaan saja, bukan sepenuhnya memahami inti dari kasus yang sedang ditangani.
“Dalam hal ini, rasa yang sesungguhnya diharapkan itu apa? Itu yang harus dipahami seorang hakim. Kita harus akui, banyak persoalan yang diselesaikan di negeri ini memang tidak pernah menyentuh pada wilayah nomena atau maknanya, sehingga hanya ada di wilayah permukaan saja,” ungkapnya.
Bahkan, kata Sudjito, para hakim yang entah tidak berani atau tidak mau untuk sampai pada hakekat keadilan yang bersifat progress. “Dengan begitu, maka keadilan yang diharapkan pun hanya bersifat formal. Keadilan yang hanya berdasarkan fakta dan rumusan pasal. Itu saja,” paparnya.
Dengan demikian, sambungnya, dapat dikatakan bahwa sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum benar-benar terwujud dengan baik, dan keadilan di Indonesia hanyalah bersifat formalitas atau  simbolik semata.
“Bagi saya, baik hakim maupun polisi itu adalah corong UU. Mereka hanya menjadi corongnya aja, tapi UU kayak apa? Itulah pertanyaannya. Nah, corong itu kan cuma alat. Kalau manusia tentu punya hati. Harusnya, keadilan yang ditegakkan itu berdasarkan kepekaan hati nurani, bukan sekedar alat corong,” pungkasnya. (bilal/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2013/01/25/26308-keadilan-di-indonesia-baru-sebatas-formalitas.html#sthash.qJDYNsGr.dpuf

1 komentar:

  1. Bismillah...Alhamdulillah , terimakasih sekali kak Ratih ...pencerahannya mengenai keadilan ini sudahkah terwujud :)

    BalasHapus